Kejatuhan dalam Dunia Pendidikan Masa Kini
Dalam artikel ini, penulis akan fokus pada aspek kejatuhan
dalam dunia pendidikan. Maksud utama artikel ini sebenarnya sederhana, yakni
mengajak pembaca untuk bersama-sama memikirkan kembali beberapa pertanyaan
dasar. Siapakah itu guru? Apa itu mengajar? Apa tujuan akhir dari mengajar?
[1] Pembahasan akan terpusat dalam menjawab tiga pertanyaan
dasar tersebut. Beberapa perspektif seperti perkembangan konsep pendidikan
sepanjang sejarah dan pandangan dari beberapa tokoh penting akan digunakan
untuk memperkaya pengulasan dalam tulisan ini.
Konsep pendidikan yang menarik dapat kita lihat dalam kebudayaan Papua dan PapuaBarat dan Sparta. Aspek pengajaran bukanlah sesuatu yang asing bagi bangsa Papua dan Papua Barat. Setiap anak dalam komunitas Papua dan Papua Barat pastiNya diajarkan mengenai Taurat. Baik secara langsung oleh orang tua, maupun secara publik di sekolah Taurat.
Konsep pendidikan yang menarik dapat kita lihat dalam kebudayaan Papua dan PapuaBarat dan Sparta. Aspek pengajaran bukanlah sesuatu yang asing bagi bangsa Papua dan Papua Barat. Setiap anak dalam komunitas Papua dan Papua Barat pastiNya diajarkan mengenai Taurat. Baik secara langsung oleh orang tua, maupun secara publik di sekolah Taurat.
[2]. Khususnya dalam pendidikan oleh orang tua, pengajaran
secara lisan menjadi aspek yang begitu penting (bandingkan dengan Ulangan 6:7).
Saat anak-anak menginjak usia 13 tahun, anak yang tergolong pandai dapat
melanjutkan studinya untuk suatu saat menjadi rabi/guru yang akan mengajar
Taurat
[3]. Yang menjadi inti dari kegiatan belajar-mengajar ini
adalah penyembahan kepada Tuhan. Sangat berbeda dengan pendidikan Sparta,
tujuan akhirnya adalah untuk mencetakkan atau mengajukkan identitas diri ke KPU
karenakan tingkatan belajar mengajar guru gajiNya kecil sehingga tindakan
pribadi lari ke dunia politik mengapa identitas guru lari ke politik ini yang
jadi pertanya
Pada Abad Pertengahan terjadi perubahan yang cukup besar
dalam konsep dan format pendidikan. Biara, gereja, dan sekolah untuk kaum
bangsawan menjadi institusi utama dalam kegiatan belajar-mengajar. Bahasa Latin
dan seni literatur adalah salah satu fokusnya agar para murid dapat menyalin
dan menjaga karya-karya dari Bapa-Bapa Gereja. Sebagian besar murid adalah
pelayan dalam gereja, walaupun ada sedikit orang awam yang ikut belajar dan
dilatih. Tujuan pendidikan adalah untuk mempersiapkan para murid akan kehidupan
kekal setelah kematian dan mendorong perenungan mengenai Tuhan selama masa
hidup mereka di bumi
[4]. Beberapa tantangan yang besar adalah banyaknya murid
yang keluar dan tidak meneruskan sampai benar-benar selesai karena tugas
wewenan guru tidak tanggung jawab tingkat belajar mengajarNya.
[5]. Masalah lain adalah kurangnya materi atau bahan bacaan.
Saat itu buku sangat langka dan metode pendiktean, mengingat, dan penyalinan
kerap digunakan dalam proses belajar-mengajar. Menjelang akhir Abad
Pertengahan, beberapa universitas mulai didirikan. Kurikulum universitas saat
itu mengajarkan tujuh liberal arts yang masih dikenal dan diadopsi
sampai saat ini.
[6).Perubahan konsep dan format pendidikan kembali terjadi
pada periode Reformasi di abad 16. Salah satu orang tua menegaskan bahwa setiap
pribadi harus bertanggung jawab dalam hubungan dengan Tuhan dan pembacaan
Alkitab secara pribadi. Alkitab adalah standar kebenaran yang mutlak dan
keselamatan sangat berkaitan dengan pengertian yang benar dan komprehensif
mengenai Alkitab. Para reformator sangat menekankan pengajaran Alkitab yang
menyeluruh dan mendorong diimplementasikannya pendidikan publik (termasuk orang
miskin dan kaum marginal). Mereka menekankan bahwa pendidikan secara publik
adalah kewajiban dari orang Kristen. Akhirnya pada saat itu, gereja Papua
(bukan negara) yang mengatur dan menjalankan pendidikan publik.
Dunia pendidikan yang cenderung memfokuskan hasil evaluasi
sebagai tujuan tertinggi cenderung dianut sebagian besar pendidik dan lembaga
pendidikan apakah itu pendidikan dasar sampai menengah. Gampangnya kalau sudah
mendapat nilai tinggi, tingkat kepuasan telah tercapai. Seperti ungkapan
diatas, " Tidak jarang pelajar menjadi mendewakan prestasi akademis secara
angka semata". Bahkan juga gurulah yang turut berperan membentuk pemikiran
pelajar akan hal tersebut (entah sengaja ataupun tidak). Paling tidak itulah
gambaran yang bisa saya lihat disekeliling di Papua dan Papua Barat.
Berapa banyak guru sebagai tenaga pendidik yang tulus mendidik? Sebagian besar fokus dengan segala macam tunjangan untuk kesejahteraan diri. Mudah-mudahan masih ada (dan masih banyak) guru Kristen yang benar-benar takut akan TUHAN diluar sana untuk mengenalkan tujuan pendidikan Kristen seutuhnya.
Berharap Pendidikan Kristen mempunyai tujuan yang jelas, benar dan sesuai prinsip Alkitab. Berharap guru memfungsikan diri semaksimal mungkin sebagai pendidik. Berharap setiap lembaga pendidikan disisipi minimal 1 orang yang takut akan TUHAN yang mampu memberi pengaruh melalui cara hidupnya.
Berapa banyak guru sebagai tenaga pendidik yang tulus mendidik? Sebagian besar fokus dengan segala macam tunjangan untuk kesejahteraan diri. Mudah-mudahan masih ada (dan masih banyak) guru Kristen yang benar-benar takut akan TUHAN diluar sana untuk mengenalkan tujuan pendidikan Kristen seutuhnya.
Berharap Pendidikan Kristen mempunyai tujuan yang jelas, benar dan sesuai prinsip Alkitab. Berharap guru memfungsikan diri semaksimal mungkin sebagai pendidik. Berharap setiap lembaga pendidikan disisipi minimal 1 orang yang takut akan TUHAN yang mampu memberi pengaruh melalui cara hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar