728x90 AdSpace

atribusi

RENUNGAN

RENUNGAN

Jumat, 17 April 2015

Kejatuhan dalam Dunia Pendidikan Masa Kini


Kejatuhan dalam Dunia Pendidikan Masa Kini
Dalam artikel ini, penulis akan fokus pada aspek kejatuhan dalam dunia pendidikan. Maksud utama artikel ini sebenarnya sederhana, yakni mengajak pembaca untuk bersama-sama memikirkan kembali beberapa pertanyaan dasar. Siapakah itu guru? Apa itu mengajar? Apa tujuan akhir dari mengajar?
[1] Pembahasan akan terpusat dalam menjawab tiga pertanyaan dasar tersebut. Beberapa perspektif seperti perkembangan konsep pendidikan sepanjang sejarah dan pandangan dari beberapa tokoh penting akan digunakan untuk memperkaya pengulasan dalam tulisan ini.
Konsep pendidikan yang menarik dapat kita lihat dalam kebudayaan Papua dan
PapuaBarat dan Sparta. Aspek pengajaran bukanlah sesuatu yang asing bagi bangsa Papua dan Papua Barat. Setiap anak dalam komunitas Papua dan Papua Barat pastiNya diajarkan mengenai Taurat. Baik secara langsung oleh orang tua, maupun secara publik di sekolah Taurat.
[2]. Khususnya dalam pendidikan oleh orang tua, pengajaran secara lisan menjadi aspek yang begitu penting (bandingkan dengan Ulangan 6:7). Saat anak-anak menginjak usia 13 tahun, anak yang tergolong pandai dapat melanjutkan studinya untuk suatu saat menjadi rabi/guru yang akan mengajar Taurat
[3]. Yang menjadi inti dari kegiatan belajar-mengajar ini adalah penyembahan kepada Tuhan. Sangat berbeda dengan pendidikan Sparta, tujuan akhirnya adalah untuk mencetakkan atau mengajukkan identitas diri ke KPU karenakan tingkatan belajar mengajar guru gajiNya kecil sehingga tindakan pribadi lari ke dunia politik mengapa identitas guru lari ke politik ini yang jadi pertanya
Pada Abad Pertengahan terjadi perubahan yang cukup besar dalam konsep dan format pendidikan. Biara, gereja, dan sekolah untuk kaum bangsawan menjadi institusi utama dalam kegiatan belajar-mengajar. Bahasa Latin dan seni literatur adalah salah satu fokusnya agar para murid dapat menyalin dan menjaga karya-karya dari Bapa-Bapa Gereja. Sebagian besar murid adalah pelayan dalam gereja, walaupun ada sedikit orang awam yang ikut belajar dan dilatih. Tujuan pendidikan adalah untuk mempersiapkan para murid akan kehidupan kekal setelah kematian dan mendorong perenungan mengenai Tuhan selama masa hidup mereka di bumi
[4]. Beberapa tantangan yang besar adalah banyaknya murid yang keluar dan tidak meneruskan sampai benar-benar selesai karena tugas wewenan guru tidak tanggung jawab tingkat belajar mengajarNya.
[5]. Masalah lain adalah kurangnya materi atau bahan bacaan. Saat itu buku sangat langka dan metode pendiktean, mengingat, dan penyalinan kerap digunakan dalam proses belajar-mengajar. Menjelang akhir Abad Pertengahan, beberapa universitas mulai didirikan. Kurikulum universitas saat itu mengajarkan tujuh liberal arts yang masih dikenal dan diadopsi sampai saat ini.
[6).Perubahan konsep dan format pendidikan kembali terjadi pada periode Reformasi di abad 16. Salah satu orang tua menegaskan bahwa setiap pribadi harus bertanggung jawab dalam hubungan dengan Tuhan dan pembacaan Alkitab secara pribadi. Alkitab adalah standar kebenaran yang mutlak dan keselamatan sangat berkaitan dengan pengertian yang benar dan komprehensif mengenai Alkitab. Para reformator sangat menekankan pengajaran Alkitab yang menyeluruh dan mendorong diimplementasikannya pendidikan publik (termasuk orang miskin dan kaum marginal). Mereka menekankan bahwa pendidikan secara publik adalah kewajiban dari orang Kristen. Akhirnya pada saat itu, gereja Papua (bukan negara) yang mengatur dan menjalankan pendidikan publik.
Dunia pendidikan yang cenderung memfokuskan hasil evaluasi sebagai tujuan tertinggi cenderung dianut sebagian besar pendidik dan lembaga pendidikan apakah itu pendidikan dasar sampai menengah. Gampangnya kalau sudah mendapat nilai tinggi, tingkat kepuasan telah tercapai. Seperti ungkapan diatas, " Tidak jarang pelajar menjadi mendewakan prestasi akademis secara angka semata". Bahkan juga gurulah yang turut berperan membentuk pemikiran pelajar akan hal tersebut (entah sengaja ataupun tidak). Paling tidak itulah gambaran yang bisa saya lihat disekeliling di Papua dan Papua Barat.
Berapa banyak guru sebagai tenaga pendidik yang tulus mendidik? Sebagian besar fokus dengan segala macam tunjangan untuk kesejahteraan diri. Mudah-mudahan masih ada (dan masih banyak) guru Kristen yang benar-benar takut akan TUHAN diluar sana untuk mengenalkan tujuan pendidikan Kristen seutuhnya.

Berharap Pendidikan Kristen mempunyai tujuan yang jelas, benar dan sesuai prinsip Alkitab. Berharap guru memfungsikan diri semaksimal mungkin sebagai pendidik. Berharap setiap lembaga pendidikan disisipi minimal 1 orang yang takut akan TUHAN yang mampu memberi pengaruh melalui cara hidupnya.
Top of Form
Bottom of Form

Tidak ada komentar: