poto ilustrasi sahabat |
Kemampuan aktingnya tidak diragukan. Ia mampu menyihir penonton untuk tidak
beranjak dari layartelevisi.
Setelah dirinya berhasil meraih predikat Pemeran Wanita Terbaik di sejumlah ajang penghargaan, namanya makin melambung sehingga jadi rebutan banyak produser sinetron. Tak peduli berapa pun harga yang diminta Vivi untuk setiap episodenya, pasti akan dikabulkan. Karena, namanya sudah menjadi jaminan bahwa sinetron yang dibintanginya akan sukses.
Di usianya yang tergolong masih belia, hidup Vivi sudah bergelimang harta. Sebut saja 2 rumah mewah di kawasan elite Jakarta yang jika ditaksir harganya di atas 3 miliar, beberapa mobil mewah, deposito, dan investasi berupa tanah. Kerja kerasnya selama 10 tahun di dunia hiburan membuahkan hasil yang menakjubkan.
Padahal, ketika masih duduk di bangku SMP, Vi hanyalah seorang gadis dari keluarga sederhana. Selama ini ia tinggal bersama Henny, ibunya, yang bekerja sebagai penjahit. Sedangkan ayahnya tidak jelas keberadaannya. Karena, sejak terlahir ke dunia, Vi tidak pernah mengenal sosok seorang ayah dalam kehidupannya.
“Ma, hmm… apakah saya punya papa?” tanyanya suatu hari dengan takut-takut.
Henny, yang saat itu sedang membuat pola pakaian, berhenti sebentar, lalu menengok sekilas ke arah putrinya. “Punya,” jawabnya singkat. Kemudian melanjutkan kembali pekerjaannya
“Kalau punya, kenapa saya tidak pernah melihatnya?” protes Vivi.
“Papamu pergi berlayar jauh ke luar negeri,” jawab
Henny, tak acuh.
“Luar negeri?” tanya Vivi, takjub.
Benarkah ayahnya seorang pelaut? Berarti, ia anak orang kaya. Karena, pelaut kan uangnya banyak. Tapi, mengapa sampai saat ini ibunya masih banting tulang menjahit hingga larut malam demi mendapatkan uang? Lalu, dikemanakan uang yang dari ayahnya?
“Ma, kalau Papa seorang pelaut, mengapa Mama masih bersusah payah mencari uang? Bukankah Papa mengirim uang setiap bulan?” tanya Vivi, menyelidik.
“Sudahlah, Vi, Mama lelah. Besok saja kita ngobrol lagi. Mama ngantuk! Sekarang, kamu tutup gorden, periksa pintu, apakah sudah terkunci semua.
Akhir-akhir ini di daerah kita banyak maling!” ujar
Henny, sambil menguap.
Begitulah. Henny selalu menghindar setiap kali putri semata wayangnya bertanya tentang keberadaan ayahnya, Bram. Cerita kelamnya itu sudah lama dikubur dalam-dalam. Untuk mengingatnya saja, ia merasa sakit hati, sedih, dan kecewa, apalagi untuk menceritakan kepada putrinya. Ah… bukanlah hal yang mudah. Perlu persiapan mental. Membuka aib masa lalu sama saja dengan menelanjangi dirinya. Belum tentu Vivi bisa terima penjelasan tentang mengapa mereka hanya hidup berdua saja.
Sering kali, perasaan berdosa menyelimuti hatinya. Rasanya, ia tidak tega untuk selalu berbohong dan menghindar setiap kali Vivi menanyakan ayahnya. Tapi, apa mau dikata, ketika itu Vivi masih terlalu muda untuk mengetahui persoalan orang dewasa.
Henny takut, jiwa putrinya akan terguncang, jika ia tahu siapa dirinya, ayahnya, dan wanita lain dalam kehidupan ayahnya, yang telah merusak kebahagiaan Henny. Sekitar 10 tahun lalu, Henny meninggalkan Medan, kota tempat ia tinggal bersama Bram, suaminya. Namun, sejak kehidupannya hancur, ia meninggalkan kota itu
dan merantau ke Jakarta. Sedangkan Vivi, Henny
baru berani mengambilnya dari rumah kakaknya, ketika ia sudah mendapat
pekerjaan tetap sebagai penjahit di perusahaan konfeksi.Setelah dirinya berhasil meraih predikat Pemeran Wanita Terbaik di sejumlah ajang penghargaan, namanya makin melambung sehingga jadi rebutan banyak produser sinetron. Tak peduli berapa pun harga yang diminta Vivi untuk setiap episodenya, pasti akan dikabulkan. Karena, namanya sudah menjadi jaminan bahwa sinetron yang dibintanginya akan sukses.
Di usianya yang tergolong masih belia, hidup Vivi sudah bergelimang harta. Sebut saja 2 rumah mewah di kawasan elite Jakarta yang jika ditaksir harganya di atas 3 miliar, beberapa mobil mewah, deposito, dan investasi berupa tanah. Kerja kerasnya selama 10 tahun di dunia hiburan membuahkan hasil yang menakjubkan.
Padahal, ketika masih duduk di bangku SMP, Vi hanyalah seorang gadis dari keluarga sederhana. Selama ini ia tinggal bersama Henny, ibunya, yang bekerja sebagai penjahit. Sedangkan ayahnya tidak jelas keberadaannya. Karena, sejak terlahir ke dunia, Vi tidak pernah mengenal sosok seorang ayah dalam kehidupannya.
“Ma, hmm… apakah saya punya papa?” tanyanya suatu hari dengan takut-takut.
Henny, yang saat itu sedang membuat pola pakaian, berhenti sebentar, lalu menengok sekilas ke arah putrinya. “Punya,” jawabnya singkat. Kemudian melanjutkan kembali pekerjaannya
“Kalau punya, kenapa saya tidak pernah melihatnya?” protes Vivi.
“Papamu pergi berlayar jauh ke luar negeri,” jawab
Henny, tak acuh.
“Luar negeri?” tanya Vivi, takjub.
Benarkah ayahnya seorang pelaut? Berarti, ia anak orang kaya. Karena, pelaut kan uangnya banyak. Tapi, mengapa sampai saat ini ibunya masih banting tulang menjahit hingga larut malam demi mendapatkan uang? Lalu, dikemanakan uang yang dari ayahnya?
“Ma, kalau Papa seorang pelaut, mengapa Mama masih bersusah payah mencari uang? Bukankah Papa mengirim uang setiap bulan?” tanya Vivi, menyelidik.
“Sudahlah, Vi, Mama lelah. Besok saja kita ngobrol lagi. Mama ngantuk! Sekarang, kamu tutup gorden, periksa pintu, apakah sudah terkunci semua.
Akhir-akhir ini di daerah kita banyak maling!” ujar
Henny, sambil menguap.
Begitulah. Henny selalu menghindar setiap kali putri semata wayangnya bertanya tentang keberadaan ayahnya, Bram. Cerita kelamnya itu sudah lama dikubur dalam-dalam. Untuk mengingatnya saja, ia merasa sakit hati, sedih, dan kecewa, apalagi untuk menceritakan kepada putrinya. Ah… bukanlah hal yang mudah. Perlu persiapan mental. Membuka aib masa lalu sama saja dengan menelanjangi dirinya. Belum tentu Vivi bisa terima penjelasan tentang mengapa mereka hanya hidup berdua saja.
Sering kali, perasaan berdosa menyelimuti hatinya. Rasanya, ia tidak tega untuk selalu berbohong dan menghindar setiap kali Vivi menanyakan ayahnya. Tapi, apa mau dikata, ketika itu Vivi masih terlalu muda untuk mengetahui persoalan orang dewasa.
Henny takut, jiwa putrinya akan terguncang, jika ia tahu siapa dirinya, ayahnya, dan wanita lain dalam kehidupan ayahnya, yang telah merusak kebahagiaan Henny. Sekitar 10 tahun lalu, Henny meninggalkan Medan, kota tempat ia tinggal bersama Bram, suaminya. Namun, sejak kehidupannya hancur, ia meninggalkan kota itu
“Benar kamu sudah mempunyai pekerjaan tetap di Jakarta?” tanya Kak Uli, ketika Henny mengutarakan maksudnya untuk mengambil putrinya yang sejak bayi ia titipkan.
“Benar, Kak. Aku sekarang bekerja di perusahaan konfeksi,” ujar Henny.
“Tapi, apa gajimu bisa untuk menghidupi kalian berdua? Ingat, Hen, hidup di Jakarta itu susah. Apalagi, kalau penghasilan kamu pas-pasan.
Cobalah pikirkan kembali keputusanmu itu!”
“Kak, aku berterima kasih selama ini Kakak bersedia merawat Vivi dengan penuh kasih sayang. Namun, untuk menebus dosaku selama ini, yang telah menelantarkannya, izinkan aku untuk membesarkannya. Bisa atau tidak bisa, aku harus bertahan hidup di Jakarta. Aku yakin, kalau ada kemauan, pasti Tuhan membukakan jalan. Yakinlah, Kak, aku tidak akan menelantarkan
darah dagingku sendiri!”
Walaupun berat, Uli akhirnya melepaskan Vivi, yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri, untuk diasuh oleh ibu kandungnya.
“Hen, jaga Vivi! Jangan biarkan ia bergaul dengan sembarang orang. Ingat! Jakarta itu rawan! Jika salah pergaulan, ia bisa terjerumus. Aku ingin Vivi punya masa depan. Menjadi orang yang bisa dibanggakan. Setelah kau melangkahkan kaki dari kota ini, lupakan semua kehidupan kelam yang pernah kau lalui. Biarlah itu menjadi buku hitammu. Harapan Kakak, kau dan Vivi bisa hidup bahagia,” kata Kak Uli, panjang lebar.
“Terima kasih, Kak. Doakan aku berhasil dengan kehidupan baruku.”
Suara Vivi membuyarkan lamunan Henny. “Ma, sudah rapi. Semua pintu sudah dikunci. Kok, Mama bengong?”
“Tidak, Sayang…. Ya, sudah, kalau semua sudah beres, kita sekarang tidur, yuk!” ajak Henny, sambil menggandeng Vivi menuju kamar.
Ponsel Vivi berdering keras saat ia sedang bersantai membaca skenario, yang baru diterimanya dari produser.
“Vivi, ya? Ini aku, Tumpak. Aku ingin wawancara dengan Anda besok. Ada waktu?”
“Hmm… Tumpak? Dari majalah Wanita, ya?” Vivi coba mengingat-ingat. Selama ini ia cukup
selektif dalam hal wawancara. Ia tidak mau sembarangan menerima wawancara dari media. Bukan karena sombong. Tapi, ia tidak mau karier yang sudah dirintisnya dari bawah hancur karena pemberitaan media yang simpang siur.
“Betul,” kata Tumpak.