728x90 AdSpace

atribusi

RENUNGAN

RENUNGAN

Rabu, 15 Agustus 2018

DI ERA JOKOWI, RAKYAT PAPUA TIDAK BANGGA JADI INDONESIA. QUO VADIS INDONESIA!

Oleh Natalius Pigai 
DI ERA JOKOWI, RAKYAT PAPUA TIDAK BANGGA JADI INDONESIA. QUO VADIS INDONESIA!

(Hari ini,  3 orang Rakyat Sipil dibunuh Pemerintah Jokowi di Keneyam, Nduga Papua)

Oleh: Natalius Pigai

IRONIS! Memang, judul ini sedikit keras, sekeras kepala batunya orang Papua dan sekasar-kasarnya orang Papua. Apa adanya, tanpa tedeng aling-aling dan munafik. Kami juga bukan manusia tipe kedondong tetapi tipe durian. Kasar di luar halus di dalam. Kami tidak perlu dipaksa berlanggam Jawa terlihat seperti halus, terlihat harmoni. Namun kasar dan keji.

Jokowi sampai saat ini tidak pernah bicara tentang persoalan manusia dan bagaimana menyelamatkan manusia Papua serta menghentikan kejahatan kemanusian dan menciptakan prospek perdamaian. Jokowi lebih banyak eksploitasi penderitaan infrastruktur tentang Nduga sebuah kabupaten kecil di Papua yang memang satu-satunya ruas jalan hasil keringatnya selama 4 tahun di Papua dan sebuah pasar mama-mama senilai 50 miliar, sebuah proyek kecil yang bisa saja dibangun oleh Pemerintah Kota Madya Jayapura sendiri.

Lebih ironis! Bahwa eksploitasi infrastruktur di Nduga ternyata bukan sekedar pembangunan yang luhur dan niat yang tulus. Hari ini rakyat Nduga berada dalam teror dan ancaman karena operasi militer yang dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi. Masyarakat  Alguru berada dibawah kepungan militer. Hari ini 3 sipil di Keneyam dibantai karena operasi militer.

Berbagai hasil penelitian oleh lembaga kredibel internasional telah menyatakan adanya ancaman pemusnahan etnis Papua secara perlahan (slow motion genocide) dan genocida yang diabaikan (neglected genocide in west Papua). Kedua laporan yang dikeluarkan baik oleh gereja Katolik Brisbane Australia juga oleh Amnesti International ini juga melengkapi berbagai laporan lainnya termasuk laporan-laporan penyelidikan Komnas HAM RI.

Sekarang sudah tidak bisa dibendung lagi bahwa Papua sudah berada dalam genggaman dunia internasional. Papua setelah lebih dari 50 tahun berada dalam sunyi dan bisu sebagai arena pembantaian yang tersembunyi karena negara pandai menutupi semua kejahatan kemanusiaan yang terus menerus berlangsung.

Dunia internasional mengenal Papua adalah pulau terbayang (tera incognita), arena tragedi terlupa (killing filed in the darkness atau blank spot). Kemajuan teknologi informasi yang bergerak cepat secara bebas hambatan menembus batas wilayah negara (borderless nations) telah membuka berbagai kedok dan kejahatan dan tragedi kemanusiaan di Papua yang telah berlangsung lama dan kebencian masif pada Indonesia semakin hari makin solid.

Apakah Indonesia akan tetap bertahan? Pertanyaan ini untuk dijawab, tetapi juga hanya sekedar untuk bisa di renungkan. Di lihat dari sudut pandang historiografi dan kartografi politik, maka Indonesia adalah negara yang paling labil dan memiliki potensi disintegrasi politik paling mungkin di dunia. Meski pun dalam negeri Britania raya terancam pecah karena perbedaan keyakinan dengan Irlandia utara, namun Kepulauan Inggris Raya adalah negeri  sentrum utama penjajah. Sampai saat ini tidak ada negara besar dan luas yang terdiri dari gugusan pulau-pulau bisa bertahan selama Indonesia.

Dalam historiografi politik, Sriwijaya negeri maritim yang disegani dengan armada laut dan tata niaga sektor laut yang kuat akhirnya runtuh. Demikain pula Majapahit dengan wilayah kekuasaannya dari Madagaskar sampai Formosa juga hanya tinggal nama. Inggris raya negeri asal penjajah dengan imperiumnya luas dibawah naungan britis commonwealt of nation, negara maritim seperti Jepang, sejak 1945 paska peritiwa penyerangan ke Hawai  dan kekalahan akibat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki sektor pertahanan masih dibawah protektorat Amerika yang berkedudukan di Okinawa. Demikian pula Philipina negara yang mungkin paling kuat sebagai negara Katolik di bawah pengaruh imperium Vatikan dan juga Amerika Serikat.

Ada beberapa faktor yang bisa menjadi ancaman serius integrasi nasional:

1). Sebagai negara Kepulauan secara geopolitik Indonesia berada dalam kekuatan Eksternal (external treath) sebagai ancaman Labilitas integrasi nasional. 2). Selain itu juga berbatasan langsung dengan 13 negara tetangga sebagai musuh. 3). problem politik kawasan Asia Tenggara seperti konflik laut China Selatan. 4). dinamika politik yang ditunjang persaingan pengaruh penetrasi kapital kekuatan China dan Barat. 5). fragmentasi ideologi agama paska perang teluk dan 911. 6). Belum lagi Indonesia terancam bahaya perang proxy melalui jaringan teknologi informasi yang bergerak cepat membuat dunia ini tanpa batas (borderless nations).

Selain penetrasi kapital juga hegemoni sipil dan militer telah menjadi kian mengancam negeri ini. Korporasi asing yang menguasai sendi-sendiri perekonomian nasional, konglomerasi kelompok elit oligarki yang menguasai lebih dari 70 persen kekayaan nasional baik berupa sumber daya alam, penguasaan tanah juga penguasa fiskal dan moneter melalui permainan volatilitas mata uang baik Juan maupun juga USD dan akhir-akhir ini sing dolar.

Selain ancaman eksternal juga Indonesia adalah negara memiliki labilitas integrasi nasional dari ancaman internal. Selain keanekawargaan suku, agama, ras dan antar golongan hari ini telah menjadi komoditas politik yang membahayakan. Politik rasisme yang makin mengkristal, demikian pula kelomok oligarki politik tingkat nasional yang mengedepankan politik primordialisme, penuh dengan nepotisme.

Monopoli suku bangsa Jawa yang menguasai politik nasional adalah ancaman serius Indonesia akan bubar. Bayangkan 72 tahun Indonesia merdeka Presiden selalu bersuku bangsa Jawa, sedangkan luar Jawa dianggap sebagai kacung dan babu politik. Sistem demokrasi satu orang, satu suara dan satu nilai (One men, One vote and One value) hanya dibuat untuk menguntungkan dan melestarikan adidaya  bangsa Jawa menguasai panggung politik nasional. Pada hal sistem perwakilan dan sistem proporsional atau sistem pemilu berbasis representasi wilayah jauh lebih relevan dibandingkan pemilihan berbasis penduduk.

Kenyataannya, kita lihat pemimpin amatiran muncul dari pulau Jawa dan akan terus muncul jika sistem demokrasi tidak disesuaikan dengan kondisi kekinian bangsa Indonesia. Presiden Jawa yang terbaik hanya Ir. Sukarno dan SBY, sedangkan Suharto alumni SMP di Godean Yogya bernalar otoriter, Megawati, Gusdur orang hebat di tempat yang tidak tepat  (rightmen on The bed place), juga Joko Widodo. Presiden dari Jawa muncul hanya sebagai pemimin yang melakukan ekperimen atau coba-coba untuk menjadi pemimpin karena didorong mayoritas suara, maka negara dikelola secara amatiran dan negara cendrung menjadi amatiran, kata Yusril. Monopoli kekuasan oleh suku bangsa Jawa akan menjadi benih perpecahan. Pengusiran besar-besaran terhadap orang Jawa di Aceh, peristiwa Sampit, Sambas, Armopa di Papua telah memberi signal bahwa ancaman terhadap suku bangsa Jawa itu akan ada pada masa yang akan datang.

Faktor kepemimpinan nasional menjadi problem penentu integrasi nasional. Berbagai persoalan yang muncul di bangsa kita ini hanya karena Presiden tidak mampu mengelola politik dan pemerintahan secara baik dan benar. Mungkin bangunan sosial baik vertikal antar suku, agama, ras dan antar golongan ikut hancurkan, selain itu adanya hegemoni negara secara wewenang-wenang menekan rakyat, sementara rakyat apatis pada negara dan negara kian kehilangan wibawa di hadapan rakyat.

Problem hak asasi manusia adalah faktor terpenting yang mengancam keutuhan NKRI atau Indonesia bubar 2030, bahkan sebelumnya. Tesis ini paling mungkin karena hari ini kita berada di era milenium kemanusiaan (human right milenium) di mana pilar demokrasi, hak asasi manusia dan perdamaian menjadi pilar penting.

Siapa yang bilang kalau Jokowi tidak memiliki catatan kelam atau catatan buram sebagai seorang yang dapat diindikasikan sebagai pelaku pelanggar HAM berat selama 4 tahun kepemimpinan, jika dilakukan penyelidikan secara profesional dan imparsial?

Dilihat dari kebijakan dan tindakannya dalam memimpin negeri ini selama 4 tahun sederet kasus pelanggaran yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki keterkaitan dengan kepemimpinan Jokowi jika dilihat dari perspektif hukum HAM:

1. Kasus Paniai tercatat sebagai kejahatan kemanusiaan (gross violation of human right) termasu dalam kategori pelanggaran HAM berat yang berkasnya sedang diproses dan terhenti di Komnas HAM. Kasus Paniai adalah salah satu hasil produk rezim kepemimpinan Joko Widodo. Jokowi menitipkan peristiwa kelam baru bagi bangsa ini. Sebagai kepala negara, Jokowi tidak bisa lepas tanggung jawab (commander resposibilities). Bagaimana pun juga Jokowi menambah 1 berkas pelanggaran HAM berat di Komnas HAM.

2. Adanya penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, penyiksaan/penganiayaan (torture) dan pembunuhan (kilings) terhadap lebih dari 6 ribu orang Papua selama 3 tahun merupakan catatan negatif rezim Jokowi. Jokowi tidak bisa menghindari sebagai kepala negara/kepala pemerintahan sebagai penanggungjawab komando (commander resposibilities).

3. Dugaan terjadinya genocida secara perlahan melalui berbagai kebijakan (slow motion genocide) di Papua berdasarkan hasil penyelidikan beberapa lembaga internasional, menguatkan dugaan Jokowi sebagai kepala negara, dengan sadar atau sengaja (by commision) melakukan pembiaran (by ommision). Hasil penyelidikan keuskupan Brisbane Australia menyatakan secara fakta terjadi genocida perlahan (slow motion genocida in west Papua) di Papua. Demikian pula amnesti internaional juga menyatakan genocida yang disembunyikan di Papua (neglected genocida in west Papua). Laporan kejahatan kemanusiaan ini telah mendunia dan Indonesia telah dikategorikan sebagai pelaku utama pembatain di tanah Papua. Peristiwa Rasialisme yang didorong atas dasar kebencian Etnis atau Papua Phobia atau Melanesiaphobia tidak hanya terjadi di Papua. Berbagai teror terhadap mahasiswa Papua di hampir seluruh kota studi di pulau Jawa termasuk peristiwa Obi di Yogya, Malang, Surabaya dan lainnya telah menujukkan ancaman kesalahan terhadap mereka.

4. Berbagai operasi militer di Papua yang berlangsung terus menerus bersendikan keamanan. Operasi militer justru menimbulkan berbagai korban di rakyat sipil. Penangkapan, penahanan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap rakyat sipil juga terus menerus menyertai dalam operasi militer hampir seluruh Papua. Berbagai peristiwa operasi militer sebagaimana terjadi di Timika, Nduga, Paniai, Wamena Barat, puncak Papua, Seluruh wilayah perbatasan.

Tindakan 1 dan 4 ini mengancam integritas nasional. Kita menyaksikan sendiri Pemerintah kepemimpinan Jokowi didemo di luar negeri sebagai penjahat kemanusiaan terhadap rakyat Papua. Berbagai kritikan oleh orang asing juga di dalam negeri menunjukkan bahwa kredibilitas Jokowi sudah mulai mulai hancur.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika faktor kepemimpinan sangat menentukan sebagai perekat bangsa, mampu mengontrol secara baik, tidak membohongi dan mengumbar janji, tidak mengejar citra, tidak haus kekuasan dan jabatan. Pemilihan umum sudah dekat, negara harus mencari solusi untuk menciptakan tanah Papua damai, aman, tenteram dan sejahtera. Oleh karena tabiat pemimin sekarang ini adalah pemimpin tanpa simpati kemanusiaan di Papua, maka Indonesia harus mencari figur yang tepat dan mampu membawa perubahan baik demokrasi, perdamaian dan hak asasi manusia di tanah Papua.

Penulisa adalah mantan Komisioner Komnas HAM, aktivis kemanusiaan

Dampak dan Nasib Penjual Tanah di Papua

Nogey Black Tebai

Dari sekian banyak pertanyaan yang melintas dalam benak kami, hanya satu pertanyaan ini yang memicu polemik, kebingungan dan jawaban yang beragam versi. Pertanyaannya yakni:
Bagaimana nanti nasib para tuan-tuan tanah di Papua yang sudah menjual tanahnya hingga habis?
Ini pertanyaan kunci yang memiliki dua analisa jawaban, yang pertama, tipe orang seperti ini secara ekonomi, sudah tidak memiliki modal dan faktor produksi (tanah). Kedua,  secara identitas ke Papuaan, orang seperti ini sulit berbicara menyangkut nasionalisme ke Papuaan akibat merasa tidak memiliki apa-apa yang dapat diharapkan sebagai aset dan modalitasnya sebagai orang Papua (walaupun masih ada yang bisa). Hidupnya akan menjadi benalu, tidak berpendirian, dalam hidup mereka akan menginap-nginap di sembarang rumah keluarga, menjadi seperti tamu (orang asing) di tanah sendiri dan akhirnya akan meninggal tanpa meninggalkan sesuatu yang berharga bagi keturunannya (jika ada).
2. Dampak Ekonomi
Bagi kelompok seperti ini (suka jual tanah), tentu akan menderita selamanya. Bukan saja sebagai bagian dari kutukan moyang, tapi juga dari aspek ekonomi karena mereka akan kehilangan faktor produksi tradisional mereka.
Bagaimana tidak, tanah sebagai aset kekayaan turun-temurun selama berabad-abad telah diolah, dihuni dan bahkan yang didalamnya bersemayam tulang belulang moyang dengan begitu saja akan diserahkan kepada orang asing dengan sejumlah uang kertas yang tidak berarti dan tidak kekal yang akan habis dipakai.
Sebab ketika tanah diolah dikeruk, digarap dijadikan kebun, apakah akan lenyap, habis, berkurang, menghilang? Tentu tidak. Lalu, pantaskah kita menjual tanah dengan selembar uang kertas seharga 100 juta,1 milyar , 1 Triliun ? Apakah dengan uang itu kita bisa membuat tanah lagi di planet ini, di Papua ini, yang sama seperti milik kita hasil warisan leluhur yang telah kita jual? Itu tentu mustahil.
Orang Papua dahulu bisa bertahan hidup tanpa orang asing karena tanah dengan segala yang tumbuh di atas dan di dalamnya dapat menjamin kehidupan selama ratusan-ribu tahun lamanya, sekarang mengapa tanah itu dijual?
3. Dampak Nasionalisme Ke Papuaan
Proses penjualan tanah yang marak belakangan, menyebabkan orang Papua merasa semakin tidak berdaya, terutama kepada generasi saat ini yang sudah tidak memiliki warisan apapun dari orang tuanya (generasi terdahulu). Generasi saat ini menjadi asing di tanahnya sendiri. Dosa-dosa orang tua mereka yang menyerahkan tanah adat kepada pemerintah, dijual dan ditukar atau bahkan dikuasai oleh orang-orang asing menciptakan penderitaan sepanjang masa baginya dan keturunnnya lagi kelak.
Dampaknya bisa dua, pertama memang dapat menciptakan penderitaan akibat hilangnya identitas dan modalitas kepapuaan mereka. Kedua, keadaan itu bagi mereka yang kritis dapat memicu lahirnya nasionalisme ke Papuaan dengan jalan menuntut kemerdekaan agar segala hak-hak warisnya dapat direbut kembali.
Dari kedua dampak ini yang nampak lebih dominan ada pada bagian pertama. Kehilangan tanah, hutan, alam, gunung dll menyebabkan banyak generasi keturunannya terancam habis perlahan, stress hingga akan mati mendadak dll. Apakah itu fenomena kutukan leluhur, masih misterius.
Akhirnya dampak dalam ideologi Kepapuaan ini kedua-duanya telah diamati menciptakan pengaruh pada punahnya nasionalisme Ke Papuaan, manusia dan hilangnya tahah Papua walaupun di sisi lain mungkin dapat pula memicu lahirnya nasionalisme Kepapuaan.
4. Penutup
Mama Yosepa Alomang, aktifis HAM Papua mengatakan bahwa tanah itu adalah ibarat seorang ibu yang melahirkan banyak orang. Ia mengungkapkan tanah, hutan, gunung, lembah, sungai, rawa sebagai rahim tubuh ibu Papua. Lalu, akan jadi apa jika tubuh kita ini kita jual. Kita tentu akan habis, ontologi mama Yosefa dapat menjadi cahaya bagi orang Papua guna menyelami berbagai mitologi dan kosmologi di Papua.

Kita berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah sesuai logika alkitab: pedoman hidup gereja kristen dan katolik, lalu pantaskah kita terus menjual tanah? Bukankah menjual tanah sama halnya dengan menjual diri kita sendiri untuk lebih cepat untuk punah dan lenyap dari atas tanah Papua?
Dan mempercepat menyerahkan tanah Papua yang kaya raya dan kita cintai ini ke tangan asing? Sekarang tinggal memilih: apakah kita akan terus menjual tanah atau berhenti untuk menyelamatkan manusia Papua dan pulau surga yang jatuh ke bumi ini ?


Selasa, 14 Agustus 2018

INILAH TUGAS DAN FUNGSI POKOK UTAMA KNPB.


Hari ini Allah bangsa Papua sudah izinkan untuk KNPB pusat bawah materi Papua Merdeka didalam Kampus Universitas Cendawasi,( UNCEN) Papua.

Ketika rakyat papua membaca dan menonton berita hari tentang KNPB pusat bawa materi didalam kampus UNCEN " Rakyat senang dan bangga dengan berita hari ini dan alam papua pun senang, tulang peluang pun, senang mereka yang berjuang di hutan rimba pun senang mereka yang berjuang diplomasi pun senang.

Sebagian Rakyat papua tidak mengerti dengan kata Komandan, dengan kawan dan tuan puan..

Kalo Rakyat papua dari sorong sampai samari  mengerti dengan beberapa kalimat ini berarti rakyat papua seratus persen akan mengerti tentang papua merdeka yang sesungguhnya, saya secara pribadi salut dan bangga dengan kerja kerja KNPB pusat hari ini.

Mengapa, KNPB adalah media atau KNPB adalah guru besar untuk memberikan pemahaman tentang " Identitas orang papua karena adanya KNPB anak generasi Bangsa papua bisa memahami tentang moral, dan harkat martabat orang papua, karena adanya KNPB anak generasi bisa paham dengan setiap ancaman dan tantangan tentang hak" org papua.

Satu hal yang sangat luar bisa adalah ketika aktivitas papua merdeka membawa materi, atau memberikan pemahaman, tentang papua merdeka kepada anak generasi Bangsa papua ini sangat luar bisa kerena ketika adanya tindakan ini anak generasi menjadi seorang revolusiner yang hebat yang mampu memberikan pemahaman tentang papua merdeka kepada rakyat papua yang belum mengerti tentang papua merdeka.

Ketika anak generasi mengerti tentang papua merdeka pasti papua dengan sendirinya akan nampak, dan akan kelihatan tentang papua merdeka yang sesungguhnya.

Hari ini kita semua rakyat papua satukan pendapat, sataukan hati, satukan pikiran, satukan ide untuk melawan Sistem negara kolonial Indonesia. Yang kita lawan adalah bukan manusia- manusa atau lawan TNI Pori atau Rakyat indonesia, tetapi  yang kita lawan adalah Sistem negara kolonial ini.

Karena sistem negara yang sudah diterapkan ke rakyat dan orang asli papua ada semuanya bertentangan dengan harkat dan martabat orang papua, sehingga anak generasi papua sekarang adalah anak generasi emas,  tambah dengan berlian artinya l:

bahwa hari ini anak generasi sudah mengetahui dan mengerti tentang ancaman terhadap moral, adan martabat orang asli papua karena kita di papua ada dalam ancaman di berbagai bidang, sehingga untuk mencegah dan mengatasi ancam ancaman ini ada di pundak anak generasi.

Jumat, 10 Agustus 2018

MAHASISWA SEBAGAI KAUM INTELEKTUAL

MAHASISWA SEBAGAI KAUM INTELEKTUAL

Mahasiswa Sebagai Kaum Intelekual Organis
Bicara pemuda tentu saja tidak dapat dilepaskan dari kata’’Mahasiswa”. Status ini (baca: intelektual organis) seharusnya benar-benar direalisasikan melalui gerakan untuk membangun bangsa, baik dituangkan dalam bentuk kegiatan organisasi, maupun terlibat aktif dalam berpartisipasi dengan lembaga atau instansi yang concern pada masalah sosial, semisal LSM.
Bisa juga melalui karya kreatif dan kritis dalam bentuk tulisan ataupun lewat turun lansung ke jalan. Mahasiswa tidak boleh hanya larut oleh cerita heroik pada masa silam hingga melupakan tugasnya dalam mengisi kemerdekaan.
Mahasiswa dan pemuda hari ini harus menjalankan ‘fatwa’ meminjam istilah Gramscie yang ia sebut sebagai intelektual organik. Bagi Gramnscie intelektual organik adalah para intelektual yang tidak sekedar menjelaskan bahwa kehidupan sosial dari luar berdasar kaidah kaidah saintifik, tapi juga merupakan bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman riil yang tidak bisa diekspresikan oleh masyarakat sendiri (Leszek Kolakowski).
Selain Gramscie, Hamka juga memberi contoh yang bagus kepada pemuda Indonesia. Semangatnya yang tinggi sebagai intelektual tidak hanya ia aplikasikan sebagai teori saja. Namun, ia terapkan dalam kehidupan masyarakat sekitarnya. Beliau memang memiliki semangat tinggi dalam menggali ilmu. Bahkan dalam pernyataannya ia mengakui perlu membaca sampai lima puluh buah buku untuk memahami satu hal mengenai agama dan emosi. Dan sebagai kaum intelektual, ia juga mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan sosial.
Gagasan gagasan di atas perlu terinternalisasi, dalam diri mahasiswa sepanjang perjalanan akademiknya, mahasiswa harus peka terhadap persoalan sosial, dekat dengan masyarakat yang dihimpit ribuan persoalan, mulai dari kemiskinan, kesenjangan, sampai pada bentuk bentuk keji seperti pemerkosaan dan penindasan atas hak rakyat dan perampokan besar besaran.
Berdirinya mall-mall besar di sekitar kampus menjadi potret tantangan sendiri, bagi dunia mahasiswa. Pasalnya, pengaruh untuk menjadi mahasiswa yang konsumtif sudah pasti lebih bersar dibandingkan dengan mahasiswa di daerah yang kesulitan mengakses hal itu. Apalagi dengan kecanggihan teknologi yang memacu corak atau slogan’’menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh’’ serta individualitas perilaku mahaiswa itu sendiri.
Ancaman perlu diantisipasi lebih jauh, mengingat kecanggihan teknologi melahirkan beberapa gaya hidup baru dikalangan mahasiswa. Salah satunya dengan menerapkan sistem copy paste saat mengerjakan tugas. Jelas, hal seperti ini akan mamatikan peran mahasiswa sebagai kaum intelkektual, dengan slogan instanisasi diera modern.
Selain itu, yang lebih bahaya lagi apabila status mahasiswa sebagai kaum intelektual hanya sekedar menjadi status kosong tanpa isi. Lalu, apabila sudah seperti itu, siapakah yang yang akan diharapkan menjadi intelektual organik?
Tidak hanya dikalangan mahasiswa, kesenjangan ekonomi pun terjadi dikalangan masyarakat. Dimana masyarakat semakin terkotak-kotakkan dengan kelas kelas sosial melalui gaya hidupnya. Sebagai contoh, bagi kelas menengah kebawah, ia memilih belanja ditempat tempat ‘tradisional’. Berbeda dengan masyarakat atas. Sudah otomatis dia akan memilih tempat lebih elit sebagai tempat favorit yang barangkali dirasa akan disamping memenuhi hasrat dan kebutuhannya serta sekaligus memperlihatkan status sosialnya di masyarakat.
Sebagai, kaum intelektual yang hidup di abad modern, sekarang tentu mahasiswa menghadapi dua beban ganda’’pertama’’ ia harus mawas diri memposisikan perannya dalam era teknologisasi. Tekanan untuk berperilaku konmsutif hedon dan sederet perilaku berlebihan lainnya sangat riskan, artinya instanisasi perilaku, baik secara pribadi ataupun sosial bak setan yang menggoida iman intelektual tersebut.
Kedua memahami serta mampu memecahkan masalah kesenjangan yang terjadi di kalangan masyarakat. Bagaimana ia tidak digunakan oleh kecanggihan teknologi di era modern. Namun, bagaimana ia menjadikan teknologi sebagai alat untuk membangun bangsanya. Salah satunya ialah bagaimana ia bisa menjadi bagian dari kaum intelektual organis seperti yang digagas dan dicontohkan oleh Hamka.
Yang jelas, suatu hal yang pasti, bahwa mahasiswa harus menjadi kelompok sosial (collective sosial) yang berperan aktif, menjadi problem solving di tengah himpitan dan problematika sosial yang begitu kompleks. Ia harus berdiri paling depan, mempropogandakan tatanan sosial yang bebas dari najis dan pemerkosaan struktur. Menendang jauh jauh bentuk pembodohaan yang semakin canggih dengan wajah baru.

Selasa, 07 Agustus 2018

Ijazah Boleh kita Beli Kecuali Ilmu pengetahuan & Iman


sumber phot Google
Ijazah Boleh kita Beli Kecuali Ilmu pengetahuan & Iman

Danaumakamo, 1 Agustus 2018_ Kalau Ada Uang semuanya akan Aman kata itu pasti semua akan berpikir seperti itu namun sayang ….!! Ada dua hal yang tidak bisa kita beli yaitu : 1.Iman akan membawa kita keselamatan kekal.
2.Ilmu pengetahun & kemampuan skill.
Ijazah Anda boleh beli,Kertas Anda boleh beli,Barang bisa beli namun yang kami tidak bisa beli adalah ilmu pengetahuan dan Iman akan membawa kita kepada Kebahagian kekal.
Orang Asli Papua (OAP) di Papua membutuhkan SDM yang handal dan berkompeten untuk tuan di atas negerinya sendiri namun sangat sayang….,beberapa Universitas seluruh Indonesia menamatkan beberapa OAP tanpa tahapan proses akademik.
Namanya pendidikan mestinya semua tahapan di lalui baru bisa mendapatkan Ijazah di bekali dengan Ilmu pengetahuan agar supaya kembali ke Papua menunjukan kemampuan intelektualitasnya kepada Masyarakat kita sendiri dan mengejar ketertinggalan kita agar supaya menjadi tuan di atas tanahnya sendiri. Sekolah Tinggi yang membunuh Krakter Orang Asli Papua (OAP) karena menilai berbedah sekali dengan institusi perguruan tinggi lain yang di haruskan Mahasiswa melewati tahapan demi tahapan guna mendapatkan gelar sarjana tapi di institusi ini semuanya sudah diurusi pihak kampus, termasuk skripsi juga gratis,
Jika orang luar Papua menguasai kita jangan salahkan mereka non OAP yg datang cari makan di Papua dengan membawah Ijazah yg legal dan kemampuan intelektual yg handal sehingga gampang saja di pojokan OAP di atas tanahnya sendiri sebab kita OAP maunya langsung beli ijazah tanpa proses akademik.
Dengan demikian harapan- harapan kedepan kepada semua Generasi Muda Papua :
1. jika daftar atau masuk Kampus itu pilih dengan baik,pilih kampus yang proses Akademik yang baik .
2. kita Berani melawan malas karena muncul masalah seperti ini karena Malas .
3.Kita Berani Melawan Malas Bekerja.
“Tiada Orang Bodoh Kecuali Hanya Ada Orang Malas maka Mari…!! Kita berani Melawan Malas”
Pewarta : Dominikus Boga

BERITA PAPUA