728x90 AdSpace

atribusi

RENUNGAN

RENUNGAN

Rabu, 15 Agustus 2018

Dampak dan Nasib Penjual Tanah di Papua

Nogey Black Tebai

Dari sekian banyak pertanyaan yang melintas dalam benak kami, hanya satu pertanyaan ini yang memicu polemik, kebingungan dan jawaban yang beragam versi. Pertanyaannya yakni:
Bagaimana nanti nasib para tuan-tuan tanah di Papua yang sudah menjual tanahnya hingga habis?
Ini pertanyaan kunci yang memiliki dua analisa jawaban, yang pertama, tipe orang seperti ini secara ekonomi, sudah tidak memiliki modal dan faktor produksi (tanah). Kedua,  secara identitas ke Papuaan, orang seperti ini sulit berbicara menyangkut nasionalisme ke Papuaan akibat merasa tidak memiliki apa-apa yang dapat diharapkan sebagai aset dan modalitasnya sebagai orang Papua (walaupun masih ada yang bisa). Hidupnya akan menjadi benalu, tidak berpendirian, dalam hidup mereka akan menginap-nginap di sembarang rumah keluarga, menjadi seperti tamu (orang asing) di tanah sendiri dan akhirnya akan meninggal tanpa meninggalkan sesuatu yang berharga bagi keturunannya (jika ada).
2. Dampak Ekonomi
Bagi kelompok seperti ini (suka jual tanah), tentu akan menderita selamanya. Bukan saja sebagai bagian dari kutukan moyang, tapi juga dari aspek ekonomi karena mereka akan kehilangan faktor produksi tradisional mereka.
Bagaimana tidak, tanah sebagai aset kekayaan turun-temurun selama berabad-abad telah diolah, dihuni dan bahkan yang didalamnya bersemayam tulang belulang moyang dengan begitu saja akan diserahkan kepada orang asing dengan sejumlah uang kertas yang tidak berarti dan tidak kekal yang akan habis dipakai.
Sebab ketika tanah diolah dikeruk, digarap dijadikan kebun, apakah akan lenyap, habis, berkurang, menghilang? Tentu tidak. Lalu, pantaskah kita menjual tanah dengan selembar uang kertas seharga 100 juta,1 milyar , 1 Triliun ? Apakah dengan uang itu kita bisa membuat tanah lagi di planet ini, di Papua ini, yang sama seperti milik kita hasil warisan leluhur yang telah kita jual? Itu tentu mustahil.
Orang Papua dahulu bisa bertahan hidup tanpa orang asing karena tanah dengan segala yang tumbuh di atas dan di dalamnya dapat menjamin kehidupan selama ratusan-ribu tahun lamanya, sekarang mengapa tanah itu dijual?
3. Dampak Nasionalisme Ke Papuaan
Proses penjualan tanah yang marak belakangan, menyebabkan orang Papua merasa semakin tidak berdaya, terutama kepada generasi saat ini yang sudah tidak memiliki warisan apapun dari orang tuanya (generasi terdahulu). Generasi saat ini menjadi asing di tanahnya sendiri. Dosa-dosa orang tua mereka yang menyerahkan tanah adat kepada pemerintah, dijual dan ditukar atau bahkan dikuasai oleh orang-orang asing menciptakan penderitaan sepanjang masa baginya dan keturunnnya lagi kelak.
Dampaknya bisa dua, pertama memang dapat menciptakan penderitaan akibat hilangnya identitas dan modalitas kepapuaan mereka. Kedua, keadaan itu bagi mereka yang kritis dapat memicu lahirnya nasionalisme ke Papuaan dengan jalan menuntut kemerdekaan agar segala hak-hak warisnya dapat direbut kembali.
Dari kedua dampak ini yang nampak lebih dominan ada pada bagian pertama. Kehilangan tanah, hutan, alam, gunung dll menyebabkan banyak generasi keturunannya terancam habis perlahan, stress hingga akan mati mendadak dll. Apakah itu fenomena kutukan leluhur, masih misterius.
Akhirnya dampak dalam ideologi Kepapuaan ini kedua-duanya telah diamati menciptakan pengaruh pada punahnya nasionalisme Ke Papuaan, manusia dan hilangnya tahah Papua walaupun di sisi lain mungkin dapat pula memicu lahirnya nasionalisme Kepapuaan.
4. Penutup
Mama Yosepa Alomang, aktifis HAM Papua mengatakan bahwa tanah itu adalah ibarat seorang ibu yang melahirkan banyak orang. Ia mengungkapkan tanah, hutan, gunung, lembah, sungai, rawa sebagai rahim tubuh ibu Papua. Lalu, akan jadi apa jika tubuh kita ini kita jual. Kita tentu akan habis, ontologi mama Yosefa dapat menjadi cahaya bagi orang Papua guna menyelami berbagai mitologi dan kosmologi di Papua.

Kita berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah sesuai logika alkitab: pedoman hidup gereja kristen dan katolik, lalu pantaskah kita terus menjual tanah? Bukankah menjual tanah sama halnya dengan menjual diri kita sendiri untuk lebih cepat untuk punah dan lenyap dari atas tanah Papua?
Dan mempercepat menyerahkan tanah Papua yang kaya raya dan kita cintai ini ke tangan asing? Sekarang tinggal memilih: apakah kita akan terus menjual tanah atau berhenti untuk menyelamatkan manusia Papua dan pulau surga yang jatuh ke bumi ini ?


Tidak ada komentar: