728x90 AdSpace

atribusi

RENUNGAN

RENUNGAN

Jumat, 10 Agustus 2018

MAHASISWA SEBAGAI KAUM INTELEKTUAL

MAHASISWA SEBAGAI KAUM INTELEKTUAL

Mahasiswa Sebagai Kaum Intelekual Organis
Bicara pemuda tentu saja tidak dapat dilepaskan dari kata’’Mahasiswa”. Status ini (baca: intelektual organis) seharusnya benar-benar direalisasikan melalui gerakan untuk membangun bangsa, baik dituangkan dalam bentuk kegiatan organisasi, maupun terlibat aktif dalam berpartisipasi dengan lembaga atau instansi yang concern pada masalah sosial, semisal LSM.
Bisa juga melalui karya kreatif dan kritis dalam bentuk tulisan ataupun lewat turun lansung ke jalan. Mahasiswa tidak boleh hanya larut oleh cerita heroik pada masa silam hingga melupakan tugasnya dalam mengisi kemerdekaan.
Mahasiswa dan pemuda hari ini harus menjalankan ‘fatwa’ meminjam istilah Gramscie yang ia sebut sebagai intelektual organik. Bagi Gramnscie intelektual organik adalah para intelektual yang tidak sekedar menjelaskan bahwa kehidupan sosial dari luar berdasar kaidah kaidah saintifik, tapi juga merupakan bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman riil yang tidak bisa diekspresikan oleh masyarakat sendiri (Leszek Kolakowski).
Selain Gramscie, Hamka juga memberi contoh yang bagus kepada pemuda Indonesia. Semangatnya yang tinggi sebagai intelektual tidak hanya ia aplikasikan sebagai teori saja. Namun, ia terapkan dalam kehidupan masyarakat sekitarnya. Beliau memang memiliki semangat tinggi dalam menggali ilmu. Bahkan dalam pernyataannya ia mengakui perlu membaca sampai lima puluh buah buku untuk memahami satu hal mengenai agama dan emosi. Dan sebagai kaum intelektual, ia juga mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan sosial.
Gagasan gagasan di atas perlu terinternalisasi, dalam diri mahasiswa sepanjang perjalanan akademiknya, mahasiswa harus peka terhadap persoalan sosial, dekat dengan masyarakat yang dihimpit ribuan persoalan, mulai dari kemiskinan, kesenjangan, sampai pada bentuk bentuk keji seperti pemerkosaan dan penindasan atas hak rakyat dan perampokan besar besaran.
Berdirinya mall-mall besar di sekitar kampus menjadi potret tantangan sendiri, bagi dunia mahasiswa. Pasalnya, pengaruh untuk menjadi mahasiswa yang konsumtif sudah pasti lebih bersar dibandingkan dengan mahasiswa di daerah yang kesulitan mengakses hal itu. Apalagi dengan kecanggihan teknologi yang memacu corak atau slogan’’menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh’’ serta individualitas perilaku mahaiswa itu sendiri.
Ancaman perlu diantisipasi lebih jauh, mengingat kecanggihan teknologi melahirkan beberapa gaya hidup baru dikalangan mahasiswa. Salah satunya dengan menerapkan sistem copy paste saat mengerjakan tugas. Jelas, hal seperti ini akan mamatikan peran mahasiswa sebagai kaum intelkektual, dengan slogan instanisasi diera modern.
Selain itu, yang lebih bahaya lagi apabila status mahasiswa sebagai kaum intelektual hanya sekedar menjadi status kosong tanpa isi. Lalu, apabila sudah seperti itu, siapakah yang yang akan diharapkan menjadi intelektual organik?
Tidak hanya dikalangan mahasiswa, kesenjangan ekonomi pun terjadi dikalangan masyarakat. Dimana masyarakat semakin terkotak-kotakkan dengan kelas kelas sosial melalui gaya hidupnya. Sebagai contoh, bagi kelas menengah kebawah, ia memilih belanja ditempat tempat ‘tradisional’. Berbeda dengan masyarakat atas. Sudah otomatis dia akan memilih tempat lebih elit sebagai tempat favorit yang barangkali dirasa akan disamping memenuhi hasrat dan kebutuhannya serta sekaligus memperlihatkan status sosialnya di masyarakat.
Sebagai, kaum intelektual yang hidup di abad modern, sekarang tentu mahasiswa menghadapi dua beban ganda’’pertama’’ ia harus mawas diri memposisikan perannya dalam era teknologisasi. Tekanan untuk berperilaku konmsutif hedon dan sederet perilaku berlebihan lainnya sangat riskan, artinya instanisasi perilaku, baik secara pribadi ataupun sosial bak setan yang menggoida iman intelektual tersebut.
Kedua memahami serta mampu memecahkan masalah kesenjangan yang terjadi di kalangan masyarakat. Bagaimana ia tidak digunakan oleh kecanggihan teknologi di era modern. Namun, bagaimana ia menjadikan teknologi sebagai alat untuk membangun bangsanya. Salah satunya ialah bagaimana ia bisa menjadi bagian dari kaum intelektual organis seperti yang digagas dan dicontohkan oleh Hamka.
Yang jelas, suatu hal yang pasti, bahwa mahasiswa harus menjadi kelompok sosial (collective sosial) yang berperan aktif, menjadi problem solving di tengah himpitan dan problematika sosial yang begitu kompleks. Ia harus berdiri paling depan, mempropogandakan tatanan sosial yang bebas dari najis dan pemerkosaan struktur. Menendang jauh jauh bentuk pembodohaan yang semakin canggih dengan wajah baru.

Tidak ada komentar: