MAHASISWA SEBAGAI KAUM INTELEKTUAL |
Mahasiswa Sebagai Kaum Intelekual Organis
Bicara
pemuda tentu saja tidak dapat dilepaskan dari kata’’Mahasiswa”. Status ini
(baca: intelektual organis) seharusnya benar-benar direalisasikan melalui
gerakan untuk membangun bangsa, baik dituangkan dalam bentuk kegiatan
organisasi, maupun terlibat aktif dalam berpartisipasi dengan lembaga atau
instansi yang concern pada masalah sosial, semisal LSM.
Bisa
juga melalui karya kreatif dan kritis dalam bentuk tulisan ataupun lewat turun
lansung ke jalan. Mahasiswa tidak boleh hanya larut oleh cerita heroik pada
masa silam hingga melupakan tugasnya dalam mengisi kemerdekaan.
Mahasiswa
dan pemuda hari ini harus menjalankan ‘fatwa’ meminjam istilah Gramscie yang ia
sebut sebagai intelektual organik. Bagi Gramnscie intelektual organik adalah
para intelektual yang tidak sekedar menjelaskan bahwa kehidupan sosial dari
luar berdasar kaidah kaidah saintifik, tapi juga merupakan bahasa kebudayaan
untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman riil yang tidak bisa
diekspresikan oleh masyarakat sendiri (Leszek Kolakowski).
Selain
Gramscie, Hamka juga memberi contoh yang bagus kepada pemuda Indonesia.
Semangatnya yang tinggi sebagai intelektual tidak hanya ia aplikasikan sebagai
teori saja. Namun, ia terapkan dalam kehidupan masyarakat sekitarnya. Beliau
memang memiliki semangat tinggi dalam menggali ilmu. Bahkan dalam pernyataannya
ia mengakui perlu membaca sampai lima puluh buah buku untuk memahami satu hal
mengenai agama dan emosi. Dan sebagai kaum intelektual, ia juga mengaplikasikan
ilmunya dalam kehidupan sosial.
Gagasan gagasan di atas perlu
terinternalisasi, dalam diri mahasiswa sepanjang perjalanan akademiknya, mahasiswa
harus peka terhadap persoalan sosial, dekat dengan masyarakat yang dihimpit
ribuan persoalan, mulai dari kemiskinan, kesenjangan, sampai pada bentuk bentuk
keji seperti pemerkosaan dan penindasan atas hak rakyat dan perampokan besar
besaran.
Berdirinya
mall-mall besar di sekitar kampus menjadi potret tantangan sendiri, bagi dunia
mahasiswa. Pasalnya, pengaruh untuk menjadi mahasiswa yang konsumtif sudah
pasti lebih bersar dibandingkan dengan mahasiswa di daerah yang kesulitan
mengakses hal itu. Apalagi dengan kecanggihan teknologi yang memacu corak atau
slogan’’menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh’’ serta individualitas
perilaku mahaiswa itu sendiri.
Ancaman
perlu diantisipasi lebih jauh, mengingat kecanggihan teknologi melahirkan
beberapa gaya hidup baru dikalangan mahasiswa. Salah satunya dengan menerapkan
sistem copy paste saat mengerjakan tugas. Jelas, hal seperti ini akan mamatikan
peran mahasiswa sebagai kaum intelkektual, dengan slogan instanisasi diera
modern.
Selain
itu, yang lebih bahaya lagi apabila status mahasiswa sebagai kaum intelektual
hanya sekedar menjadi status kosong tanpa isi. Lalu, apabila sudah seperti itu,
siapakah yang yang akan diharapkan menjadi intelektual organik?
Tidak
hanya dikalangan mahasiswa, kesenjangan ekonomi pun terjadi dikalangan
masyarakat. Dimana masyarakat semakin terkotak-kotakkan dengan kelas kelas
sosial melalui gaya hidupnya. Sebagai contoh, bagi kelas menengah kebawah, ia
memilih belanja ditempat tempat ‘tradisional’. Berbeda dengan masyarakat atas. Sudah
otomatis dia akan memilih tempat lebih elit sebagai tempat favorit yang
barangkali dirasa akan disamping memenuhi hasrat dan kebutuhannya serta
sekaligus memperlihatkan status sosialnya di masyarakat.
Sebagai,
kaum intelektual yang hidup di abad modern, sekarang tentu mahasiswa menghadapi
dua beban ganda’’pertama’’ ia harus mawas diri memposisikan perannya dalam era
teknologisasi. Tekanan untuk berperilaku konmsutif hedon dan sederet perilaku
berlebihan lainnya sangat riskan, artinya instanisasi perilaku, baik secara
pribadi ataupun sosial bak setan yang menggoida iman intelektual tersebut.
Kedua
memahami serta mampu memecahkan masalah kesenjangan yang terjadi di kalangan
masyarakat. Bagaimana ia tidak digunakan oleh kecanggihan teknologi di era
modern. Namun, bagaimana ia menjadikan teknologi sebagai alat untuk membangun
bangsanya. Salah satunya ialah bagaimana ia bisa menjadi bagian dari kaum
intelektual organis seperti yang digagas dan dicontohkan oleh Hamka.
Yang
jelas, suatu hal yang pasti, bahwa mahasiswa harus menjadi kelompok sosial
(collective sosial) yang berperan aktif, menjadi problem solving di tengah
himpitan dan problematika sosial yang begitu kompleks. Ia harus berdiri paling
depan, mempropogandakan tatanan sosial yang bebas dari najis dan pemerkosaan
struktur. Menendang jauh jauh bentuk pembodohaan yang semakin canggih dengan
wajah baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar