Siapa Pelaku Penembakan Tiga Warga Sipil di KRP III?
Siapa Pelaku
Penembakan Tiga Warga Sipil di KRP III?
Oleh : Socratez Sofyan Yoman (*)
STOP DISKRIMINASI HUKUM DAN POLITIK DI TANAH PAPUA
Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua
(BPP-PGBP) sangat prihatin dengan pernyataan-pernyataan yang disampaikan dalam
proses sidang tuduhan makar di Pengadilan Negeri Jayapura atas Ketua Dewan Adat
Papua, Forkorus Yamboisembut dan kawan-kawannya dan juga pernyataan dari Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Julius D.
Teuf, S.H.,
Pertama, Ketua Dewan Adat, Forkorus Yamboisembut dan
kawan-kawan: “Mengklaim Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) Sudah
Didaftar ke PBB” (Bintang Papua, Sabtu, 03 Maret 2012). Untuk Ketua Dewan Adat
Papua, Forkorus Yamboisembut dan kawan-kawan diharapkan berbicara yang
realitis, rasional, ideologis dan nasionalis. Tidak usah berbicara di
awan-awan, mimpi dan menyebut-menyembut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB
bukan Juruselamat. PBB bukan yang akan memberikan kemerdekaan dan kebebasan
rakyat dan bangsa Papua Barat. Saya
tidak bermaksud rakyat dan bangsa Papua tidak membutuhkan Peserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). PBB memang sangat
dibutuhkan oleh bangsa-bangsa yang mau merdeka, termasuk rakyat dan bangsa
Papua Barat. Tetapi, maksud saya adalah
kemerdekaan dan kedaulatan sepenuhnya ada di tangan rakyat dan bangsa Papua
Barat di sini.
Panitia Pelaksanana Kongres Tiga Papua juga pernah membuat
TOR (Term of Reference) Panduan Kongres dengan para Nara Sumber yang
dimasukkan tidak rasional dan tidak
realistis. Contoh: Nama-nama seperti:
Mantan Sekjen PBB, Kofi Annan, Paus di Roma, Anggota Kongres Amerika Eni
Faleomavaega dan beberapa nama dimasukkan sebagai Nara Sumber dalam Kongres
Rakyat Papua. Saya datang sebagai
seorang gembala umat dan dapat menyampaikan suara gembala kepada domba-domba
yang hadir dan dalam materi tertulis saya sudah memberikan rekomendasi
yang jelas. Yaitu: (1) Kongres ini perlu
mendukung pernyataan Sekjen PBB, Ban Ki Moon di Auckland, Selandia Baru, yang
telah berbicara tentang West Papua; (2)
Kongres ini mendukung dialog damai antara bangsa Indonesia dan bangsa Papua
yang dimediasi pihak ketiga yang netral.
Sayangnya, rekomendasi itu tidak diindahkan.
Saran saya yang realistis
kepada Ketua Dewan Adat dan kawan-kawan yang perlu dilakukan sekarang
dalam sidang ini adalah tanyakan kepada
Jaksa dengan pertanyaan-pertanyaan ini. Siapa namamu? Asal dari mana?
Kapan saudara datang di Tanah kami Tanah Papua?
Siapa yang menyuruh saudara datang ke Tanah kami Tanah Papua? Siapa yang
mengundang Saudara datang di Tanah kami Tanah Papua? Tujuan apa saudara datang
ke Tanah kami Tanah Papua? Tunjukkan
kepada kami undangan dari nenek moyang dan leluhur orang asli Papua untuk
saudara datang keTanah kami Tanah Papua?
Apakah saudara telah mendapat madat dari leluhur dan nenek moyang kami
untuk mengadili dan menghukum kami?
Apakah Allah leluhur dan nenek moyang kami memberikan rekomendasi kepada
Anda untuk mengadili dan menghukum kami?
Apakah Anda tidak keliru dalam menghakimi kami sebagai orang asli Papua
sebagai pemilik Negeri dan tanah ini?
Berapa lama saudara akan tinggal di Tanah kami Tanah Papua? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dipertanyakan
kepada Hakim. Sepanjang Para Hakim belum menjawab ini dengan jelas dan tegas,
Ketua Dewan Adat dan teman-teman tidak usah melayani dan menjawab
pertanyaan-pernyataan orang-orang tamu yang tidak tahu diri itu.
Kedua, Saudara Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Julius D.
Teuf, SH, tidak perlu tersinggung dan
dibesar-dibesarkan dengan pernyataan Gustaf Kawer, SH. menyatakan: “Jaksa, Kamu Pakai Otak, Saya
Masih Ngomong”. Ketua Tim JPU menanggapi
dan menyatakan: “Mengapa diakatakan seperti itu kepada saya, kalau memang saya
tidak punya otak, kemungkinan besar saya tidak bisa duduk di sini sebagai
seorang JPU, apalagi saya seorang aparat Negara atau penegak hukum, sehingga
kami laporkan ini supaya dia bisa buktikan apakah saya tidak punya otak atau
tidak” (Bintang Papua, Jumat, 02 Maret 2012, hal.2).
Saudara Ketua Tim JPU hanya ditegur dengan kalimat: “Kamu
Pakai Otak, Saya Masih Ngomong” dan
Saudara Julius D. Teuf, SH, tidak menerima baik dan mengatakan bahwa
perbuatan yang tidak menyenangkan. Saya
sebagai gembala dan penyambung lidah
umat mau bertanya kepada Anda. Apakah
rakyat Papua yang dibantai seperti hewan oleh aparat keamanan TNI dan
POLRI di Kongres Rakyat Papua, tanggal 19 Oktober 2011 itu menurut hakim
perbuatan yang tidak menyenangkan atau perbuatan yang sangat menyakitkan? Saudara Hakim, mana yang lebih berat dan
tidak manusiawi? Saudara Julus D. Teuf,
SH, gunakanlah hati nuranimu sebagai manusia. Jangan menari-nari dan
berdansa-dansa di atas penderitaan, tetesan darah dan cucuran air mata umat
Tuhan di Tanah Papua. Umat Tuhan di Tanah Papua telah dibantai seperti hewan
hanya atas nama kepentingan nasional. Pemerintah, aparat keamanan dan para
hakim selalu berlindung dan bersembunyi dibalik Undang-Undang yang
diskriminatif dan penuh dengan kebohongan dan kejahatan.
Di mana ada rasa keadilan yang merupakan perwujudan sila
ketiga dari Pancasila: “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab.” Yang ada di Tanah Papua adalah kejahatan
kemanusiaan, ketidakadilan dan kebiadaban Negara. Mengapa para penegak hukum, tidak mencari siapa yang membunuh tiga rakyat sipil
pada tanggal 19 Oktober 2011? Mengapa
pelakunya tidak ditangkap, adili dan penjarakan? Mengapa hanya 7 Perwira yang memimpin
operasi yang diperiksa dalam sidang internal
polisi dengan hukuman teguran saja?
Apakah tiga umat Tuhan yang dibunuh
itu seperti hewan menurut ukuran para Hakim,Polisi dan Tentara
Indonesia? Dominggus Sorabut juga mengatakan: ” Saya menolak pemeriksaan polisi
atas dakwaan kami berlima, dikarenakan pemeriksaan saya dengan keempat terdakwa
lainnya ditodong senjata serta kami diludahi seperti binatang.” Sementara,
Agustinus M.Kraar Sananay menyatakan imannya: ” ...saya sudah muak mengikuti
persidangan serta tak mau lagi memberikan keterangan.” (Bintang Papua: Sabtu, 03 Maret 2012).
Ketiga, persoalan Papua adalah masalah yang berdimensi
global dan kompleks, bukan pada tataran ”Separatis dan Makar.” Penyelesaian pun harus menyeluruh dan bukan
parsial (sepotong-potong). Masalah Papua adalah persoalan Internasional yang
terlibat langsung adalah PBB, Amerika Serikat, Belanda. Lembaga dan Negara yang
pernah terlibat langsung ini tidak bisa
berada diluar konstruksi penyelesaian masalah Papua. Pemerintah Indonesia melalui aparat penegak
hukum yang berputar-putar dan bersandiwara dengan stigma ”Separatis dan Makar”,
tetapi masalah Papua ini harus dicari akar masalahnya. Tangkap, mengadili dan memenjarakan umat
Tuhan di Papua ini tidak akan menyelesaikan masalah Papua yang sebenarnya.
Keempat, Tanahan
TAPOL jangan disamakan dengan tahanan maling, parampok atau pelaku
kriminal. Di Negara-negara baju dan
demokratis tahanan TAPOL dan kriminal selalu dibedakan. TAPOL harus diberikan
tempat dan fasilitas lebih baik. Belajar dan bandingkan Soekarno pada waktu
dibuang di Boeven Digoel disiapkan satu rumah khusus, lengkap dengan
perpustakaan dan pelayan. Sekarang pejuang Papua diperlakukan seperti maling di
Tanah Papua, di Tanah mereka sendiri. Situasi ini membuktikan watak Pemerintah
Indonesia sebagai Neo Kolonial di Papua lebih buruk dan biadab daripada
Belanda. Indonesia harus menghentikan diskriminasi hukum dan politik di Tanah
Papua.
*) Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja
Baptis Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar