Amnesti Internasional terus merima laporan yang kredibel tentang
pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi seantero di
Papua. Pemerintah Indonesia dinilai tidak konsisten dengan kewajiban
HAM yang berlaku.
Dalam konteks ini berbagai pelanggaran HAM
oleh pasukan keamanaan merupakan kegagalan pemerintah RI untuk
mengindonesiakan rakyat Papua. Menetapkan agenda-agenda prioritas atas
HAM menjadi hal yang teramat kompleks bagi pemerintah Indonesia.
Maka
untuk pemerintahan baru yang pernah terjadi dalam sejaranya pun, mereka
tidak bertanggunjawab dalam mengisi kemerdekaannya, seperti pembatasan
hak berekspresi dan beragama serta pemindahan akvitis-aktivis politik
damai, terutama saudara-saudara di Papua dan Aceh.
Juga masih
berlangsung penindasan, diskriminasi yang terus menerus atas perempuan
dan marginalisasi serta pembiaran orang asli Papua dalam segala lini.
Bahkan hukuman mati pun berlangsung bagi rakyat Papua dari tahun 1969
sampai saat ini.
Lalu, tidak ada sama sekali perkembangan dalam
melakukan reformasi yang dibutuhkan di bidang hukum dan kebijakan untuk
mengerangi impuinitas dan penyelesaian pelanggaraan HAM di masa lalu
terutama kejahatan berdasarkan hukum Indonesia dan hukum internasional.
Maka diharapkan agar pemilihan presiden mendatang mesti menyediakan
kesempatan bagi kandidat-kandidat presiden untuk menanggapi situasi
masalah HAM Papua dalam bingkai NKRI dalam kampanye terbuka melalui
media massa.
Karena itu saya berpendapat, Amnesty pasti sudah
akan menyerukan kepada semua kandidat presiden untuk harus memegang
komitmen yang berpihak menindaklanjuti agenda-agenda HAM berikut ini,
jika mereka ingin memegang Papua dalam koridor pemerintahan Indonesia
selanjutnya:
1. Menjamin HAM oleh pasukan keamanan.
2. Menghormati dan melindungi kebebasan berpikir, berargumentasi dan beragama.
3. Menegakan hak kebebasan berekpresi.
4. Menegakkan hak prempuan.
5. Menghormati HAM di Papua
6. Mengakhiri penggunaan hukuman mati.
7. Mempromosikan dan melingungi HAM di Papua.
Wajah Pelanggaraan HAM di Papua
Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak pernah alpa melakukan
Pelanggaraan HAM di Papua. Ada realitas kongkret bahwa orang Papua
kapan dan di mana saja dibunuh bagaikan hewan oleh NKRI.
Pelanggaraan
HAM kembali terjadi pada Jumat 16/05/2014 di Waena Jayapura. Ada tiga
orang ditangkap, dipukul dan dipenjarakan dalam peristiwa tragis ini.
Peristiwa penangkapan itu dipimpin AKPB Alfred Papare S.ik dan Kiki
Kurnia, wakil Kapolres Kota Jayapuara di ruang Badan Ekskutif Mahasiswa
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Cenderawasih (BEM Fisip
Uncen).
Tindakan yang dikalukan oleh Alfred Papare dengan Kiki
Kurnia sangat tidak professional. Mesti sebagai aparat penegak hukum,
anda harus tahu aturan main. Anda jangan mengambil simbolitas sebagai
penegak hukum tapi perlu tahu nilai-nilai penegak hukum, mana yang mesti
anda terapkan atau tidak kepada masyarakat.
Karena setahu saya,
tugas penegak hukum adalah melindungi, mengayomi dan menjaga, baik
kepada masyarakat, pejabat maupun mahasiswa dan dosen. Namun dari dulu
sampai sekarang, realita yang terjadi adalah penyiksaan, pemenjaraan,
pemukulan secara tidak manusiawi, pelecehan dan perendahan harkat dan
martabat manusia lebih khusus kepada aktivis-aktivis pejuang Papua
merdeka. Itu semua salah.
Peristiwa yang sama -bahkan berlebihan-
juga terjadi atas orang Papua Barat pada bulan Oktober 16/10/2013 di
depan Gapura Uncen Abepura, Papua. Pada saat itu, penolakan Otonomi
Khusus (Otsus) Plus dilakukan oleh gerakan pemuda, pelajar, aktivis,
mahasiswa dan rakyat Papua (Gempar) juga pemerintah bersama TNI/Polri
tidak kalah membantai aksi Gempar. Ada terjadi penangkapan atas
mahasiswa Uncen, Ottow dan Gesler, Stikom Muhammadiah, Universitas
Teknologi dan Sains (USTJ) dan sejumlah mahasiswa dari seluruh kampus
yang ada di kota Jayapura. Mereka yang jadi korban kekerasan militer
sebanyak 160 orang. Itu watak NKRI bagi Papua.
Situasi demikian
sudah pernah dipublikkasikan melalui media massa yang ada. Semua
tindakan NKRI lakukan itu semua media yang ada. Baik lokal, nasional
maupun internasional. Publiksasi kekersan pemerintah itu pun dilakukan
oleh lembaga-lembaga kemanusian, diantaranya Komnas HAM, ELSHAM, bahkan
Amnesti Internasional. Lagi-lagi, media masa pula menjadi tempat
maraknya publikasi tindakan kekersan NKRI terhadap orang Papua. Karena
itu, tidaklah berlebihan apabila H.E Mr Moana Calcases Kolosil, Perdana
Menteri Vanuatu sudah dan sedang membawa masalah Papua ke sidang tahunan
PBB.
Sekalipun ada pukulan keras dari Vanuatu terhadap tindakan
pemeritah RI di Papua selama ini, tetapi sama saja, kondisi Papua tak
berubah. Pemerintah malah menghabisi rakyat Papua melalui cara dan
tindakan yang lebih keji lagi. Indonesia tidak merasa bersalah dan
bertambah kepala batu pula sekalipun sudah ada teguran keras dari
negara-negara luar temasuk Vanuatu.
Contoh barunya, pada
20/05/2014, orang Papua yang tergabung dalam Solidaritas Pemuda dan
Mahasiswa Papua (Solpap) turun berekspresi untuk meminta segera
bertanggunjawab atas perang suku yang terjadi di Timika, yang
mengakibatkan korban warga Timika yang tidak sedikit jumlahnya.
Dikabarkan bahwa 105 orang asli Papua di Timika yang mati dibunuh oleh
pemerintah dengan memperalat masyarakat suku-suku bangsa di Timika.
Yang
menjadi aktor dan pelaku utama atas konflik itu adalah TNI/ Polri dan
pemerintah serta Freeport Indonesia. Karena itu aksi yang dilakukan oleh
Solpap merupakan tuntutan moral dan iman kepada Gubernur dan Wakil
Gubernur Papua serta Polda dan Pangdam Papua untuk segera bertindak
menyelesaikan berbagai konflik tersebut.
Memang, misi
kemanusiaan itu selalu saja dianggap sebagai tindakan bodoh oleh
pemerintah. Pandangan bodoh ini dinyatakan oleh pemerintah ketika Solpap
menghadap pemerintah di depan Asrama Timika jam 09.00 pagi WPB. Mereka
mengatakan, Gubernur, Polda dan Pandam saat tidak ada di tempat, kata
polisi utusan Polda Papua dengan muka membatu.
Padahal Gubernur
dan jajarannya itu sudah ada di kantor. Alasan yang dilontarkan polisi
bukan hal baru bagi kami orang Papua. Sebernarnya mereka mau membungkam
misi kemanusian orang Papua karena peristiwa konflik di Timika antara
suku Migani, Mee dan Dani, damal, Dauwa itu adalah setingan dari BIN,
Bais, Intelijen, Lemisi, BMP, dan LMRI serta pemerintah dan FT.Freeport.
Bagaimana
pencuri mengakui bahwa saya pencuri ketika diadili di depan publik?
Jadi amat dimaklumi kalau polisi bikin alasan yang tidak logis. Lebih
jelas lagi itu polisi larang kami untuk turun jalan atau long march.
Semua ini mau menggambarkan secara jelas tindakan kekerasan NKNRI
terhadap keberadaan Papua dari tahun ketahun.
Bagi rakyat Papua, semua kasus buruk (pelanggaraan HAM) itu sudah menjadi pengalaman harian.
Pengalaman
ini biasanya disebut sebagai suatu memorial passionis, yang tak pernah
akan terlupakan dari ingatan rakyat Papua karena hanya bukan sekali
saja terjadi. Namun pengalaman pahit itu mengandung sekian juta
pelanggaraan buruk yang tak dibahasakan.
Orang Papua selalu
bertanya, kapankah konflik akan berakhir? Atau apakah masyarakat
Internasional yang cinta akan HAM juga berpikiran bahwa rakyat Papua
harus dihabisi bersama habisnya burung Cenderawasih dan emasnya di
Papua? Apakah ada tindakan kebijaksanaan oleh PBB dalam menuntaskan
konflik Papua secara menyeluruh demi Papua Damai?
Kamis, 11 September 2014
Labels:
POLITIK
dalam hidup saya keingin hal apapun ada dalam jiwa semangat itu ada sehingga rasa diri bawa saya sudah orang yang luarbisa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar