Dalam hal pemekaran wilayah, pendapat setuju dan tidak setuju
merupakan hal yang biasa. Namun, semua pendapat harus didengarkan
sebagai bahan pertimbangan.
Hal tersebut
ditegaskan Ketua Komisi II DPR Agun Gunanjar Sudarsa di Jakarta, Rabu
(6/11) pagi. “Mengenai banyaknya mahasiswa di Papua yang
menilai bahwa pemekaran Papua tidak perlu, itu merupakan aspirasi
yang akan kita perhatikan dan akan kita tampung," katanya.
Ia memastikan, DPR akan konsisten
mengkaji apakah usalan pemekaran murni keinginan masyarakat Papua
sendiri atau tidak. Pada prinsipnya, pemekaran sekarang harus
berdasarkan usulan dari masyarakat.
Aliansi Mahasiswa Papua,
Senin (4/11), menegaskan, penolakan
terhadap penetapan 33 DOB di Papua dan
Papua Barat dianggap akan memarginalkan masyarakat Papua. Penetapan
pemekaran DOB yang disahkan
dalam sidang paripurna DPR,
Kamis (24/10) lalu, dinilai sarat
dengan kepentingan politik.
Papua Menolak
Juru bicara
Aliansi Mahasiswa Papua, Wenas Kobogau kepada SH mengatakan,
penetapan ini harus dicabut (dibatalkan -red).
“Jika
tidak, kami akan minta kepada pemerintah, DPR, dan Kemendagri
untuk bertanggung jawab. Hal itu karena sejak tahun 2003, UU
Pemekaran yang sudah disahkan Presiden
Megawati Soekarnoputri, belum ada
kesejahteraan (bagi Papua -red). Pemekaran membuat rakyat berduka
terus. Pemekaran sama sekali tidak membawa kesejahteraan,"
katanya.
Pemekaran tersebut, sambung Wenas, dilakukan tanpa melihat standar kelayakan wilayah, jumlah penduduk, dan sumber daya alam.
Pemekaran tersebut, sambung Wenas, dilakukan tanpa melihat standar kelayakan wilayah, jumlah penduduk, dan sumber daya alam.
Jika
dilihat dari syarat jumlah penduduk yang ada di Papua secara
keseluruhan, pemerintah seperti menghendaki
Papua menjadi minoritas dan termarjinalkan di tanah sendiri. Apalagi,
saat ini perbandingan orang asli Papua dan pendatang lebih didominasi
kaum pendatang.
"Hal ini diperparah tidak adanya peraturan daerah yang mengatur tentaang proteksi bagi migrasi penduduk dari luar untuk masuk ke tanah Papua," ia menegaskan. Ia juga mengkhawatirkan, pemekaran 33 DOB akan diikuti oleh pemekaran struktur teritorial militer (TNI-Polri) baru. Hal ini membuka peluang bagi militer (TNI-Polri) untuk menjalankan bisnis gelapnya yang lazim dilakukan di Papua.
"Seperti mem-back up illegal loging, prostitusi, dan pemasok miras. Ditambah lagi, buramnya sepak terjang militer Indonesia atas kejahatan terhadap kemanusiaan di tanak Papua sejak aneksasi Papua ke Indonesia, 1 Mei 1963," ujarnya.
"Hal ini diperparah tidak adanya peraturan daerah yang mengatur tentaang proteksi bagi migrasi penduduk dari luar untuk masuk ke tanah Papua," ia menegaskan. Ia juga mengkhawatirkan, pemekaran 33 DOB akan diikuti oleh pemekaran struktur teritorial militer (TNI-Polri) baru. Hal ini membuka peluang bagi militer (TNI-Polri) untuk menjalankan bisnis gelapnya yang lazim dilakukan di Papua.
"Seperti mem-back up illegal loging, prostitusi, dan pemasok miras. Ditambah lagi, buramnya sepak terjang militer Indonesia atas kejahatan terhadap kemanusiaan di tanak Papua sejak aneksasi Papua ke Indonesia, 1 Mei 1963," ujarnya.
Di Mataram,
Nusa Tenggara Barat (NTB), anggota Komisi
II DPR H Fahri Hamzah mengaku optimis Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono akan menyetujui rencana pembentukan Provinsi
Pulau Sumbawa (PPS).
Hal tersebut karena
DPR telah menyetujui RUU pembentukan DOB. “Kita mengharapkan agar RUU tersebut disahkan DPR menjadi UU
sebelum pemilu legislatif
2014," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar