728x90 AdSpace

atribusi

RENUNGAN

RENUNGAN

Minggu, 07 September 2014

Dana Terlambat Diterima, Mahasiswa Penerima Beasiswa Bidikmisi Tak Makan Berhari- hari

PERUTKU mendadak sakit. Reaksi spontan yang muncul ketika membaca sebuah pesan yang memprihatinkan di telepon genggamku.
Pengirimnya adalah anak sulungku. Isinya tentang salah satu teman baiknya, teman kuliahnya di fakultas teknik di sebuah perguruan tinggi yang konon merupakan salah satu perguruan tinggi terbaik di negeri ini.
Teman baiknya, teman kuliah yang seangkatan dengannya, menurut berita yang kuterima, sudah beberapa hari berpuasa. ” Supaya tidak usah makan, ” begitu tulis anakku pada pesan yang dikirimkannya, ” Soalnya uangnya habis. “
Disusul dengan, ” Sekarang uangnya tinggal 20 ribu. “
Dua puluh ribu rupiah. Padahal saat pesan itu kuterima beberapa hari yang lalu, bulan baru saja berganti. Lalu bagaimana dia bisa bertahan sampai akhir bulan nanti, pikirku.
Ada apa, pikirku. Kenapa teman anakku itu sampai tak bisa makan di awal bulan begini?
” Beasiswanya terlambat datang, bu, ” kata anakku.
Teman yang dia bicarakan, sudah lama aku tahu, adalah penerima beasiswa Bidikmisi. Bidikmisi ini merupakan bantuan biaya pendidikan dari pemerintah yang ditujukan bagi mahasiswa yang tidak mampu ( miskin ) dan berprestasi.
Tujuan diberikannya Bidikmisi ini, untuk memutus rantai kemiskinan. Diharapkan dengan berbekal pendidikan tinggi, siswa- siswa yang datang dari keluarga tidak mampu namun berprestasi ini dapat merubah kondisi ketidak mampuan keluarganya.
***
14100488931115591504
Ilustrasi: Penerimaan mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi. Sumber: www.itb.ac.id
Anakku mengirimkan pesan tentang temannya yang sudah tak bisa makan beberapa hari karena tak lagi memiliki uang itu untuk menanyakan padaku apakah aku dan ayahnya bisa memberikan bantuan.
Kami — aku dan suamiku — memang biasa menyisihkan sebagian dari penghasilan kami untuk diberikan pada orang- orang yang membutuhkan. Preferensi kami memang biasanya untuk membantu anak- anak sekolah.
Anakku tahu itu. Dia juga tahu bahwa selama ini yang kami bantu biasanya bentuknya untuk membayar SPP atau biaya sekolah lain, tapi kali ini…
” Tapi ini dia butuhnya untuk sehari- hari, bu, bukan untuk uang sekolahnya, ” kata anakku ketika mengabarkan tentang temannya, yang lalu disusul cerita tentang sudah beberapa hari temannya tak makan itu.
” Ajak ke rumah, ” kataku, ” Bilang sama yang ti nanti pulang kuliah mau ajak teman makan di rumah. Dan iya, ibu dan bapak bisa bantu, nanti uangnya ibu transfer. “
***
Ingatanku melayang pada suatu masa ke belakang.
Letak rumah orang tuaku tak jauh dari kampus sebuah perguruan tinggi di kota kelahiranku, dimana saat ini putri sulungku kuliah. Dan belum hilang dari ingatanku saat- saat dulu, dimana salah seorang adikku yang juga kuliah di kampus itu sering menelepon ibuku siang- siang dari kampus.
” Ibu, ibu masak, kan? Aku mau ajak teman pulang ke rumah ya. Dia sudah nggak makan tiga hari… “
Ibuku, tentu saja, selalu mengijinkan.
Kejadian itu bukan sekali dua kali. Sering sekali adikku melakukan hal tersebut. Sebab… ‘ teman yang sudah tidak makan beberapa hari’ itu rupanya tak hanya satu. Ada beberapa temannya yang seperti itu. Maka jika dia tahu kondisi itu, teman- temannya itu secara bergantian diajaknya main ke rumah agar bisa ikut makan di rumah.
Maka aku tahu pasti, Ibuku, yang disebut “yang ti” oleh anakku, tak akan keberatan jika anakku yang kini tinggal di rumah ibuku semenjak dia kuliah, juga mengajak temannya untuk ikut makan di rumah karena kejadian serupa seperti yang dihadapi teman- teman adikku dulu. Walau sejujurnya, aku sendiri tak menduga, situasi semacam itu masih juga dihadapi oleh beberapa mahasiswa dari kampus yang terkenal itu saat ini.
***
Kugali cerita lebih jauh.
Anakku mengatakan, bahwa bukan hanya sekali ini saja dana Bidikmisi itu terlambat diterima oleh temannya.
” Kadang telatnya sampai beberapa bulan, ” kata anakku. ” Kalau lagi telat begitu, temanku ini suka susah jadinya. “
Waduh.
Menurut anakku berdasarkan cerita temannya, nanti setelah terlambat beberapa bulan, dana itu memang turun juga, dirapel, diterima sekaligus, dan bisa dia gunakan untuk beberapa bulan ke depan.
Tapi lalu nanti terlambat lagi beberapa bulan.
Aku prihatin sekali. Artinya, pengaturannya tak menentu.
Kukirimkan melalui anakku sejumlah uang yang kutahu merupakan jumlah uang bulanan yang seharusnya diterima teman baik anakku itu dari Bidikmisi.
” Paling sedikit, dia aman dulu bulan ini, ” kataku, ” Bulan depan kalau beasiswanya nggak turun juga, kasih tau ibu lagi ya. “
” Iya, ” jawab anakku.
***
Aku merenung.
Dan sedih.
Kubayangkan anak- anak itu. Menurut anakku, teman- temannya penerima Bidikmisi itu memang pintar- pintar. Nilai yang mereka peroleh di kampus cemelang.
Dan mereka hidup prihatin.
” Nggak pernah main, nggak pernah jalan- jalan, ” kata anakku. Mudah dipahami, mereka tentu harus menghemat uang saku yang memang tak berlebih itu. Tak cukup ruang dari uang saku itu untuk bisa jalan- jalan atau main.
Mereka juga memang biasa berpuasa, selain untuk beribadah, juga untuk mengatur agar jatah uang makan mereka tak cepat habis.
” Maka, ” anakku tersenyum ketika menceritakan hal ini, ” Mereka itu senang sekali kalau ada acara di kampus yang ada pembagian nasi kotaknya, bu, soalnya makan gratis. “
Dan ah…
Salah satu dari teman pandai yang sehari- hari memang sudah hidup prihatin itu kemarin sampai ada pada kondisi yang sangat kepepet sampai bersedia menerima bantuan. Sebab beberapa waktu yang lalu, ketika melihat tugas- tugas dari kampus yang jelas membutuhkan biaya, sebab ada bahan- bahan yang harus dibeli untuk bisa membuatnya suamiku menanyakan pada putriku ” Teman- temanmu yang anak- anak Bidikmisi itu, cukup tidak uangnya untuk bikin- bikin tugas begini ? Ada yang butuh bantuan tidak ? “
” Nanti ditanyakan, ” kata putriku.
Dan begitulah, saat itu dia menanyakan pada beberapa temannya apakah mereka membutuhkan bantuan. Diluar dugaan kami, jawabannya adalah: tidak, terimakasih, katanya mereka masih bisa atur uangnya.
Mereka baik hati, tak memanfaatkan situasi. Mengatakan tidak perlu ketika mereka memang masih bisa mengatur. Jadi pasti kali ini teman baik yang bersedia dibantu itu memang sudah betul- betul sangat membutuhkan.
***
Aku tidak tahu persis bagaimana pengaturan pengiriman dana untuk penerima Bidikmisi itu. Tapi menurut pendapatku, seharusnya pengiriman itu dilakukan teratur.
Jika dijanjikan bulanan, selayaknyalah dana itu dikirimkan sebulan sekali.
Jika memang sebulan sekali membuat administrasi terlalu rumit, maka buat saja tiga atau empat, bahkan enam bulan sekali. Tapi, kirimkan secara teratur. Semingga para mahasiswa penerima Bidikmisi itu bisa mengelolanya dengan baik.
Pengiriman yang terlambat, apalagi terlambatnya sampai berbulan- bulan, tentu menyulitkan para mahasiswa itu untuk mengelola keuangan mereka. Walau misalnya nanti belakangan turun dengan jumlah rapel beberapa bulan, ketidak pastian yang mereka hadapi bisa mempengaruhi keseharian mereka. Dan konsentrasi belajar mereka.
Teman baik anakku itu contohnya. Dia sampai tak makan beberapa hari. Kasihan. Padahal aku tahu pasti, anakku dan teman- temannya itu sering begadang, menyelesaikan tugas hingga malam hari. Kalau sampai tak makan lalu menjadi sakit, situasi akan menjadi makin sulit bagi mereka.
Aku dan suamiku, tentu aja ikhlas membantu. Tapi, yang bisa kami bantu paling- paling kan satu dua anak saja, dan dalam jangka waktu yang terbatas pula. Padahal mungkin yang mengalami hal serupa ada banyak, puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan mahasiswa penerima Bidikmisi itu.
Maka aku berharap, semoga ke depan pengaturan pengiriman dana bagi para mahasiswa Bidikmisi bisa dilakukan teratur, sehingga tak lagi perlu kudengar cerita ” temanku sudah beberapa hari tidak makan” dari anakku.

Tidak ada komentar: