Kebangkitan media sosial baru terbukti tidak saja mendidik warga
masyarakat untuk berani bersuara, tetapi juga para pemimpin untuk
bersedia mendengar. Inilah salah satu kesimpulan dari diskusi Hari
Kebebasan Pers Dunia 2011 yang berlangsung di Washington DC.
Dua jaringan media sosial baru, Facebook dan Twitter, terbukti efektif menyuarakan persoalan-persoalan yang dirasakan masyarakat Mesir, Tunisia, Yaman, Suriah dan berbagai negara di Timur Tengah lainnya. Menurut Profesor Serlie Barroga-Jamias dari Universitas Los Banos Filipina, media sosial baru merupakan fenomena yang tak terhindarkan dan harus diadaptasi oleh media-media tradisional, seperti media cetak dan penyiaran.
Barroga mengatakan, “Media sosial merupakan alat sangat berpengaruh, karena generasi kita sekarang hidup dalam era digital dan wartawan harus beradaptasi dengan hal itu. Bentuk media yang digunakan oleh generasi baru ini kini bergerak cepat, berpengaruh, dan lebih luas liputannya, kedalaman informasinya, cakupannya di banyak negara – seperti Mesir, Tunisia, Yaman, Suriah dan lain-lain. Potensi aktivitas sosial seperti ini sangat besar. Media ini mendidik warga dan juga para pemimpin untuk merasakan apa yang terjadi di bawah. Jika selama ini sifatnya dari atas ke bawah, sekarang informasi dari bawah ke atas”.
Namun, dalam diskusi “Media Abad 21 – Tantangan dan Hambatan Baru” guna memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia Tahun 2011, banyak pembicara yang mengakui bahwa media-media sosial juga memiliki sejumlah hambatan. Seperti akurasi informasi dan pemblokiran oleh pihak berwenang yang tidak sejalan.
Sebagai contoh Profesor Serli Barroga Jamias mengacu pada pemblokiran situs di Tiongkok, atau penyumbatan informasi di Suriah dan Yaman.
Namun menurut Grigory S. Shvedov, Pemimpin Redaksi “Caucasian Knot” yang berasal dari Rusia, sampai kapan pun suara rakyat tidak mungkin dibungkam.
Shvedov mengatakan, “Sekarang banyak sarana lain. Sangat sulit untuk benar-benar memblokir semuanya. Kita tidak dapat membungkam orang yang benar-benar memiliki cerita. Suara rakyat tidak mungkin bisa dibungkam”.
Yang menarik dalam forum yang berlangsung sejak hari Minggu lalu, ratusan wartawan dari berbagai pelosok dunia yang hadir – termasuk Indonesia, sepakat bahwa kehadiran media sosial tidak dapat dihindari dan seharusnya tidak dilihat sebagai ancaman tetapi justru dukungan bagi dunia jurnalisme.
Forum diskusi Hari Kebebasan Pers Dunia 2011 berakhir Selasa malam dengan pemberian penghargaan kepada Ahmed Zeidabadi, wartawan Iran yang ditahan sejak tahun 2009 karena mengkritisi pemilu presiden dan dituding mencoba menggulingkan pemerintah Iran lewat “soft revolution”. Zeidabadi merupakan wartawan ke 15 yang memperoleh penghargaan UNESCO, 'Guillermo Cano - World Press Freedom'.
Dua jaringan media sosial baru, Facebook dan Twitter, terbukti efektif menyuarakan persoalan-persoalan yang dirasakan masyarakat Mesir, Tunisia, Yaman, Suriah dan berbagai negara di Timur Tengah lainnya. Menurut Profesor Serlie Barroga-Jamias dari Universitas Los Banos Filipina, media sosial baru merupakan fenomena yang tak terhindarkan dan harus diadaptasi oleh media-media tradisional, seperti media cetak dan penyiaran.
Barroga mengatakan, “Media sosial merupakan alat sangat berpengaruh, karena generasi kita sekarang hidup dalam era digital dan wartawan harus beradaptasi dengan hal itu. Bentuk media yang digunakan oleh generasi baru ini kini bergerak cepat, berpengaruh, dan lebih luas liputannya, kedalaman informasinya, cakupannya di banyak negara – seperti Mesir, Tunisia, Yaman, Suriah dan lain-lain. Potensi aktivitas sosial seperti ini sangat besar. Media ini mendidik warga dan juga para pemimpin untuk merasakan apa yang terjadi di bawah. Jika selama ini sifatnya dari atas ke bawah, sekarang informasi dari bawah ke atas”.
Namun, dalam diskusi “Media Abad 21 – Tantangan dan Hambatan Baru” guna memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia Tahun 2011, banyak pembicara yang mengakui bahwa media-media sosial juga memiliki sejumlah hambatan. Seperti akurasi informasi dan pemblokiran oleh pihak berwenang yang tidak sejalan.
Berbagai
gerakan protes di Timur Tengah dikoordinasikan lewat jejaring sosial,
khususnya Twitter dan Facebook, yang dinilai efektif menyuarakan
persoalan masyarakat.
“Dalam negara yang sangat represif, tidak ada yang bisa kita lakukan
ketika pemerintah bersangkutan memblokir media sosial, selain kembali
kepada media-media tradisional dan sumber-sumber pribadi kita.
Media-media sosial bisa mendesak pemerintah, tapi pada kenyataannya,
kita tidak dapat melakukan apapun untuk menolongnya. Tidak ada
mekanisma yang tampak dan nyata untuk membantu,” ujar Barroga.Sebagai contoh Profesor Serli Barroga Jamias mengacu pada pemblokiran situs di Tiongkok, atau penyumbatan informasi di Suriah dan Yaman.
Namun menurut Grigory S. Shvedov, Pemimpin Redaksi “Caucasian Knot” yang berasal dari Rusia, sampai kapan pun suara rakyat tidak mungkin dibungkam.
Shvedov mengatakan, “Sekarang banyak sarana lain. Sangat sulit untuk benar-benar memblokir semuanya. Kita tidak dapat membungkam orang yang benar-benar memiliki cerita. Suara rakyat tidak mungkin bisa dibungkam”.
Yang menarik dalam forum yang berlangsung sejak hari Minggu lalu, ratusan wartawan dari berbagai pelosok dunia yang hadir – termasuk Indonesia, sepakat bahwa kehadiran media sosial tidak dapat dihindari dan seharusnya tidak dilihat sebagai ancaman tetapi justru dukungan bagi dunia jurnalisme.
Forum diskusi Hari Kebebasan Pers Dunia 2011 berakhir Selasa malam dengan pemberian penghargaan kepada Ahmed Zeidabadi, wartawan Iran yang ditahan sejak tahun 2009 karena mengkritisi pemilu presiden dan dituding mencoba menggulingkan pemerintah Iran lewat “soft revolution”. Zeidabadi merupakan wartawan ke 15 yang memperoleh penghargaan UNESCO, 'Guillermo Cano - World Press Freedom'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar