Konferensi yang bertajuk “Mari Kitong Bikin Papua Jadi Tanah Damai”
dibuka oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
(Menko Polhukam), Djoko Suyanto. Selain itu, hadir pula Gubernur Papua,
Barnabas Suebu, Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayor Jenderal TNI Erfi
Triassunu, Kapolda Papua, Inspektur Jenderal Polisi Bekto Suprapto,
serta para akademisi, tokoh masyarakat adat, serta perwakilan dari
Gereja, dan tokoh-tokoh agama lainnya.
Semua elemen masyakarakat hadir dalam konferensi itu, kecuali
perwakilan Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Menko Polhukam, Djoko Suyanto, membawa pesan khusus dari pemerintah
pusat, yaitu agar segala perbedaan pandapat diselesaikan dengan dialog,
dan mekanisme hukum yang berlaku di Republik Indonesia.
Kepada VOA, Selasa malam, Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP),
Pater Neles Tebay, mengatakan kesempatan pada hari pertama konferensi
diberikan kepada berbagai pihak untuk menyampaikan pandangannya mengenai
Papua sebagi tanah damai.
Ia mengatakan, “Dia (Djoko Suyanto) tadi datang menyampaikan bahwa
segala macam perbedaan pandapat dan persoalan dapat diselesaikan secara
persuasif dengan komunikasi konstruktif, dan berlandaskan hukum dalam
koridor Republik Indonesia. Gubernur Papua, Kapolda, dan Pangdam
Cenderawasih juga bicara.”
Pater Neles Tebay menilai positif kehadiran Djoko Suyanto; bukan
karena apa yang disampaikan tetapi lebih kepada simbol bahwa pemerintah
pusat bersedia untuk berdialog dengan rakyat Papua.
Pater Neles Tebay yang merupakan rektor Sekolah Tinggi Theologia
Fajar Timur Papua menuturkan sejumlah persoalan lama yang masih
menghantui rakyat Papua hingga hari ini. Dana pembangunan memang
diberikan dari pusat, namun tetap belum mampu meningkatkan kesejahteraan
yang sesungguhnya bagi rakyat setempat. Sempitnya waktu tidak
memungkinkan Menko Polhukam mendengarkan lebih banyak suara hati rakyat
Papua.
“Yang terlihat selama ini bahwa pemerintah pusat memberikan uang yang
banyak kepada provinsi Papua, tapi keadaan masyarakat tetap saja tidak
banyak perubahan. Malah mereka tidak dihargai dan semakin dipinggirkan,
semakin jadi minoritas di tanahnya sendiri. Peluang orang Papua banyak,
tetapi pada saat yang sama diserang oleh (virus) HIV/AIDS. Apalagi
mereka yang tinggal di daerah-daerah terisolir," ujar Pater Neles Tebay.
Di tempat yang sama, peneliti isu Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Muridan Widjodjo, menilai konferensi ini istimewa
karena berhasil mengumpulkan semua pihak yang berkepentingan, terutama
wakil pemerintah pusat dan daerah.
Ia mengatakan, “Kalau dulu itu, pemerintah pusat terutama di
Kementerian Polhukam, mendengarkan kata “Jaringan Damai Papua” saja
sudah alergi, mendengar kata “dialog” juga begitu. Tapi seiring dengan
waktu, kita yakinkan pemerintah pusat dan kelompok-kelompok di Papua.
Dua-duanya sekarang sudah mau hadir dalam satu konferensi perdamaian.
Dalam tahapan ini saya optimis. Nanti kita lihat substansinya bagaimana,
ini tahapan-tahapan yang masih harus dilalui.”
Pada akhir konferensi di hari Kamis, para delegasi akan
menandatangani sebuah deklarasi, yang berisikan konsep perdamaian serta
keharusan meneruskan dialog. Deklarasi itu akan disampaikan kepada
Presiden dan Wakil Presiden, serta semua wakil masyakarat di Papua
Selasa, 11 November 2014
Warga Papua Gelar Konferensi Damai
Labels:
PAPUA
dalam hidup saya keingin hal apapun ada dalam jiwa semangat itu ada sehingga rasa diri bawa saya sudah orang yang luarbisa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar