Salah satu faktor pendukung yang paling penting dalam proses pembangunan adalah faktor budaya. Terutama dalam era otonomisasi dewasa ini faktor budaya akan melatarbelakangi pembangunan di segala bidang. Karena budaya yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia lebih dahulu ada dan melekat pada setiap masyarakat ketimbang pembangunan. Oleh karena itu pelaksanaan pembangunan hendaknya mengacu pada konsep yang melatarbekangi nilai-nilai budaya masyarakat lokal.
Kearifan masyarakat lokal itu terlihat dari rumah yang mereka dirikan. Mengapa? Karena mulai dari pemilihan lokasi, di mana bangunan itu dibangun, mempelajari kondisi alam misalnya, cura hujan, arah datangnya angin, panas sinar matahari, bahkan terhadap gempa bumi untuk mendirikan bangunan tersebut untuk mencapai apa yang diharapkan tentu saja membutuhkan waktu yang cukup lama bahkan berpuluh-puluh tahun. Kemampuan berfikir itu bukan hanya pada pemilihan lokasi atau mempelajari iklim di sekitas mereka, namun juga pada pemilihan bahan-bahan bangunan. Kualitas bahan bangunan, penentuan bentuk dan ukuran yang cocok dengan kondisi dan kebutuhan penghuni.
Pengambilan keputusan untuk menentukan lokasi, bentuk, ukuran, dan bahan, tidak seperti para arsitek sekarang. Arsitek hanya memakai imajinasi, lalu diwujudkan dalam bentuk gambar kemudian dibangun. Namun rumah tradisional dibangun dengan suatu metode pengujian alami, untuk menentukan lokasi, iklim, ukuran, bahan, dan bentuk secara arif dan bijaksana dengan pengetahuan sederhana yang telah dimiliki, dan tentu saja ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Sebelum ada pengaruh luar, semuanya dikerjakan dengan tenaga manusia (kapak batu atau pecahan batu).
Yame Owa (rumah tinggal khusus laki-laki) yang kita lihat, hidup atau tinggal, sekarang, ini merupakan hasil akhir dari pada pengujian yang mereka lakukan selama bertahun-tahun itu. Namun demikian yang menjadi pekerjaan rumah (PR) buat kita semua adalah mengapa bangunan rumah tradisional semakin hari semakin punah? Jika demikian siapa yang salah dan siapa yang harus disalahkan? Bukankah rumah tradisional sebagai jati diri dan identitas orang Papua?
Makna Konsep Budaya Yame Owa
Secara etimologis dan harafiah dapat diartikan bahwa: Yame = (laki-laki) Owa (rumah). Artinya rumah tinggal khusus laki-laki dalam suku Mee–Papua. Konsep Budaya Yame Owa terdapat dalam suku Mee, yang mendiami di pegungungan tengah Papua. Suku Mee tersebar di danau-danau Wiselmaren dan daerah Kamuu, Mapia, Siriwo. Mee artinya manusia sejati.
Yame Owa didirikan oleh seseorang yang memiliki satus sosial, ekonomi yang mapan menurut ukuran masyarakat sekitarnya dan karena mempunyai kemampuan tertentu baik dalam pemahaman budaya maupun hal-hal mistik. Yame Owa adalah tempat tinggal khusus laki-laki yang telah dewasa dan tempat berlangsungnya proses sosialisasi nilai-nilai budaya melalui proses komunikasi. Suku Mee memandang Yame Owa sebagai simbol pemersatu: ide, perasaan, perbedaan pandangan, yang berorientasi pada proses dialog dalam rangka penyesaian masalah-masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Yame Owa dapat menghantarkan manusia suku Mee pada pengembaraan dalam pemikiran manusia dan memaknai alam semesta. Orang Mee mempunyai pandangan bahwa manusia harus hidup, melihat, berpikir melakukan sesuatu dan memandang ke depan dari dalam Yame Owa yang kokoh.
Filosofi Konsep Budaya Yame Owa
Berbicara tentang budaya Yame Owa tidak hanya terbatas pada sudut pandang yang tersimbol dalam rumah adat. Akan tetapi lebih penting adalah pandangan filosofis tentang budaya yang menjiwai seluruh aktivitas hidup suku Mee. Mengacu pada pegertian konsep budaya Yame Owa di atas, unsur filosofisnya yaitu suku Mee memandang proses hidup yang dijalani sebagai sebuah rumah Yame Owa yang kokoh dan unik.
Filosofis budaya Yame Owa adalah pelestarian karya cipta Tuhan ketika manusia suku Mee harus membangun dirinya dan sesamnya dengan konsep budaya yang ada. Sebagaimana arsitektur vernakular Yame Owa, dibangun dengan suatu kearifan yang teliti dimana menentukan lokasi, bahan, bentuk, ukuran serta estetis bangunan itu sendiri. Berdasarkan tingkat kualitas yang maksimal tersebut maka dalam membangun dirinya dan sesama harus dengan seoptimal mungkin dengan cara membedakan mana yang baik dan buruk sebagai ciptaan Tuhan yang berakal budi.
Pandangan filosofis tersebut, sudah menjadi acuan dalam usaha menata berbagai bidang kehidupan secara parsial. Karena kehidupan merupakan suatu sistem yang luas dan jangkauannya luas (multi-dimensional). Tentunya pandangan tentang bidang-bidang kehidupan ini ruang lingkup perhatianya selalu mengalami perluasan sesuai dengan tuntuan perubahan. Sebagaimana masyarakat suku Mee membangun rumah Yame Owa sebagai tempat yang memili multi fungsional dengan konstruksi bangunan yang kuat, maka Kabupaten Paniai sebagai Yame Owa maka semua kebijakan-kebijakan dan administrasi pemerintahan berawal secara baik sebagai fundamen menuju kematangan.
Konsep Budaya Yame Owa sebagai Bottom Up Planing
Salah satu pendekatan perencanaan pembangunan yang sesuai dengan semangat demokrasi dan proses otonomisasi adalah pendekatan perencanaan dari bawah (Bottom Up Planing). Karena seriring dengan perubahan format politik di Indonesia telah dilakukan penataan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Penataan ini melalui pemberian otonomi khusus bagi Papua. Sehingga tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat adalah mengontrol dan segala urusan di daerah ada di tangan pimpinan daerah itu sendiri.
Konsep otonomi daerah lebih memberi makna pemberian hak dan wewenang oleh pemerintah pusat kepada daerah dalam mengatur rumah tangga daerah masing, sesuai dengan memperhatikan aspirasi masyarakat dan potensi serta asal usul daerah. Pengertian ini sesuai dengan pandangan pemerintah dan pembangunan suku Mee di Paniai dengan konsep budaya Yame Owa. Pemerintah adalah pihak yang dipercayakan untuk mengurus wilaya kabupaten Paniai sebagai Yame Owa. Sedangkan pembangunan adalah aktivitas yang dilaksanakan melalui suatu proses perencanaan yang memihak pada kepentingan rakyat (penghuni Yame Owa) dalam mencapai tujuan bersama.
Dengan demikian perencanaan pembangunan harus dijiwai dari konsep budaya Yame Owa. Sebab Propinsi Papua adalah sebuah Yame Owa milik seluruh rakyat Papua. Oleh karena itu semua kepentingan yang mangacu pada kemajuan harus dibicarakan bersama di dalam Yame Owa sesuai dengan makna rumah itu. Sehingga pernyataan ini relevan dengan perencanaan dan pendekatan pembangunan Botto Up Planing (dari pemerintahan Desa, Kampung, Lurah, Kecamatan, Kabupaten, kota madya hingga ke Provinsi). Pendekatan Botton Up Planing harus dimulai dengan mekanisme, menampung aspirasi yang dibicarakan di Yame Owa pada setiap kampung oleh kepala Desa dan hasilnya disampaikan kepada Camat untuk dirumuskan secara sistematis dan disampaikan kepada Bupati melalui Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda) untuk dibahas dan ditetapkan dalam sidang bersama dengan Dewan Perwakilan Derah.
Sabtu, 26 Juli 2014
KEARIFAN ARSITEKTUR “YAME OWA” SUKU MEE
Labels:
EKONOMI
dalam hidup saya keingin hal apapun ada dalam jiwa semangat itu ada sehingga rasa diri bawa saya sudah orang yang luarbisa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar