Sumber Photo Google |
HIDUP HANYA SEBERKAS JEJAK YANG DAMBAHKAN DISINI
Waktu berjalan
tepat yang ku hiraukan kembali massa lalu dan massa kini saat bersama mu
sepanjang massa semenjak engkau mengenal
mu
sayang kawan,
hari kan pergi, hilang tidak kembali. kau bilang hidup sekali, dan sekali untuk
Papua. lalu mereka sebut kita pemburu angin, pelancong jalanan, perusak masa.
sekarang kawan, kita pelaku kontradiksi. Mereka tentu penikmatnya. kitalah
penentu arah angin. kita bagian dari cerita sejarah bangsa.
sayang
kawan, ku lihat kemarin darah kita menyatu pada merah bendera perlawanan. ini
hari ku lihat lambaian tangan, sembari menikmati warni warni benderamu. lalu
sontak hati ini bergetar, menusuk hati jadi luka.
Oh, apa gerangan denganmu? beribu tanya kupendam, terpaksa. Engkau pun pasti
menjawab itu takdir, berkat, nasib pilihan hidup, atau suatu kewajaran zaman.
sekarang..
sayang kawan, ada sejuta rindu menanti pada sebuah
zaman. Telah terkubur sejuta jiwa pada zaman yang kau sebut wajar. Kita
hanyalah pemantik sejarah yang penuh luka. pejalan kaki yang tau arah jalan.
Jangan lagi memaksa kami habis diatas puing-puing kehancuran ini. sudah begitu
banyak ruko-ruko penjual peti mayat itu terbangun.
Sayang kawan, kita telah terdidik di jalan-jalan untuk
berbakti di jalan-jalan itu. Sungguh tak pantas dan bukan pentasnya bagi kita
beradu idealisme dan segala politik demokrasi kolonial. Itu tak wajar dan
sangat kurang ajar. Kita penikmat debu di jalan jalan, berbau kecut keringat
jalanan. Pada aroma kopi tua, kita telah berjanji. Jangan lagi cerita cinta
anak jalanan tertulis rapuh tak bermakna kelak, sayang.
Sayang kawan, hari ini pasti pergi tak kembali. sudah
kita bilang, kitalah generasi penentu, bukan penikmat. Dunia memberi seribu
pilihan, tetapi kita telah memilih Papua, sekali untuk selamanya. Papua
tersayang. Papua permai. Tanah air cinta mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar