Negara Menanggapi Pelanggaran HAM di Tanah Papua Secara Politisir
Kita sudah mengetahui bahwa, Utusan khusus PBB untuk Indonesia yang pernah membantah pernyataan atas tuduhan pelanggaran HAM adalah pernyataan yang sangat irasional dan inrealistis, jika ditanggapi atas pernyataan dari tujuh negara yang menyerukan investigasi pelanggaran HAM di Papua. Pernyataan dari ketujuh negara sangat wajar sebagai bagian dari penegahkan demokrasi terhadap nilai-nilai kemanusiaan lainnya.
Jauh sebelumnya, beberapa pemimpin dari negara, Salomon Islands, Vanuatu, Marshall Island, Tonga, Presiden Nauru, Tuvalu, dan perdana menteri Palau, mereka meminta Indonesia membuka diri atas pelanggaran HAM di Papua. Dan segera melakukan dialog damai secara bermartabat dan demokratis. Tetapi Indonesia justru menuding pada pernyataan dari tujuh negara yang mengingatkan pentingnya mengatasi pelanggaran HAM di Indonesia, khusus menyangkut papua. Tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM melalui dialog damai yang ditawarkan oleh pemimpim MSG dan PIF selama ini, Indonesia menganggap negara-negara fasifik hanya upaya politisir untuk mendukung kelompok gerakan separatis dan teroris yang ada di Papua.
Berikut penolakan tuduhan pelanggaran HAM di Tanah Papua, diperdebatkan pada tanggal 26 September 2016 berlangsung Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke 71 di New York. Dalam kesempatan ini Kepulauan Solomon, Vanuatu, Nauru, Kepulauan Mashal, Tuvalu, Tonga, dan Palau adalah negara-negara yang menyerukan Perseikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menuntaskan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dialami warga Papua dalam kurun 50 Tahun terakhir.
Indonesia melalui perwakilannya membantah pernyataan ke-tujuh negara tersebut. Dalam kesempatan itu perwakilan Indonesia Nara Masista menyampaikan terkait masalah-masalah di Papua, Provinsi Papua Barat di Indonesia, disampaikan Juga bahwa permasalahan di Papua adalah permasalahan Pemberontakan yang bertujuan mengganggu ketertiban umum. Dan sikap ke-tujuh negara tersebut telah mengintervensi kedaulatan Indonesia. Leih lanjut Indonesia menyampaikan bahwa, komitmen Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia tidak perlu dipertanyakan lagi.
Dari keterangan yang disampakan perwakilan Indonesia pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke 71 tersebut sangatlah bertolak belakang dengan realita yang ditemukan di Papua. Menurut data yang dihimpun oleh LBH Jakarta bersama Jaringan mencatat berbagai pelanggaran hak asasi manusia di papua dari penangkapan, pembunuhan dan pembubaran aksi. Terhitung sejak April 2016 hingga 16 September 2016, total telah terjadi penangkapan terhadap 2.282 orang Papua yan melakukan aksi damai. berbagai penangkapan terus terjadi. Dalam kurun waktu 28 Mei hingga 27 Juli 2016, total terdapat 1.889 demonstran yang ditangkap.
Sedangkan terhitung hingga 15 Agustus 2016, terdapat 77 demonstran yang ditangkap. Penangkapan tersebut dilakukan dibeberapa tempat berbeda di Papua dan mayoritas disertai dengan intimidasi dan tindak kekerasan. Dari data yang dihimpun sejak tahun 2012 sampai Juni 2016 terhimpun jumlah penangkapan mencapai 4.198 orang Papua.
Kemungkinan negara Indonesdia selalu membela diri dan suka menutupi kasus pelanggaran HAM selama ini. Dan negara Indoensia dapat dikatan negara yang belum mempunyai etikad dan moral sebagai sebuah negara demokrasi. Pernyataan seperti yang disampaikan oleh perwakilan khusus PBB untuk Indonesia, Nara Masista dalam sidang perdebatan berlangsung pada bulan september lalu, dapat dinyatakan penuh manipulasi dan berperan partial. Sangat keliru meyakinkan peryataannya terhadap anggota forum sidang umum PBB yang Ke-71, Tahun 2016 kali ini.
Pernyataan Indonesia dapatlah dikatakan alergi politisir dan lebih membelah diri atas kesalahan dan pelanggarannya. Itulah yang disebut negara sudah berada pada ancaman wilayah kedaulatan NKRI. Politik terlahir karena adanya ketidakstabilan penegahkan demokrasi dan pemangku kepentingan negara belum pernah ada upaya negosiasi antara kedua pihak yang berprinsip pada masing-masing ideologi.
Jika ada pernyataan yang selalu membela diri dan tidak mau mengakui pelanggaran negara, lalu pelanggaran HAM terus diabaikan dalam kehidupan demokrasi, maka Indonesia akan kehilangan papua dari bingkai NKRI. Patut untuk dipelajari bagi negarawan, perancang Undang-Undang, Penegak Undang Udang, Para stakeholder dan masyarakat yang menganut sistem demokrasi wajib memiliki jiwa sosialisme yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaannya sebagai bagian dari pengakuan atas harkat dan martabat manusia di bumi.
Mata dunia sudah mulai tertuju pada isu pelanggaran HAM dari berbagai negara terhadap bangsa papua atas pelanggaran HAM yang belum mampu menyelesaikan pemerintah RI dalam konteks nasional selama ini, sehingga dugaan pelanggaran HAM dalam sidang Umum PBB terus dilanjutkan hingga berakhirnya proses penjajahan dan kapitalisasi terhadap bangsa papua.
Negara Indonesia sebagai negara berdomokrasi seharusnya menuntaskan berbagai dugaan pelanggaran HAM dari dalam negeri, namun indonesia terus menutupi dan mengkelabuhi atas pelanggarannya sehingga dunia tidak mempercayai Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi dalam sidang-sidang pertemuan di kanca Internasional. Kegoncangan negara terus terjadi akibat ketidakseriusan menangani kasus pelanggaran HAM Papua dalam bingkai NKRI.
Kebenaran tak seorangpun yang dapat disalahkan dan dikelabuhi, tetapi kebenaran akan membuktikan fakta sesunggunya terhadap pelahan bumi. Politik kebebasan suatu bangsa yang hidup dibawa penindasan dan pembantaian adalah suatu kegiatan yang berdinamis dan berdemonsran demi menuntuntut keadilan dan perdamaian dunia harus tercipta dalam negara demokrasi.
Politik adalah bagian dari "kebenaran" bukan pada politik beradu-domba dalam "lumpur lumpur dosa" yang memupuk dalam segala kejahatan dibalik kepentingan tertentu. Segala sesuatu dapat disaksikan dan diamati secara real agar kesaksian yang terpandang secara nilai-nilai "kebenaran" dapat tercipta kemerdekaan yang hakiki. Kemerdekaan itu ada diatangan rakyat, bila rakyatnya hendak menentukan nasib sendiri dari negara kolonial, dan dapat dilakukan pelaksanaan referendum sesuai mekanisme hukum Internasional adalah solusi akhir.
By: Tamogei Gobai , Pecinta Alam Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar