728x90 AdSpace

atribusi

RENUNGAN

RENUNGAN

Rabu, 13 Agustus 2014

Sidang Dewan HAM PBB, PM Vanuatu Soroti Masalah HAM di Papua

Sidang Dewan HAM PBB, PM Vanuatu Soroti Masalah HAM di Papua

JAYAPURA - Pidato Perdana Menteri Vanuatu, Moana Carcasses Katokai Kalosil pada Sidang Tingkat Tinggi ke 25, Dewan Hak Azasi Manusia PBB di Jenewa, Swiss, 4 Maret lalu menyorot permasalahan yang ada di Papua.

Menanggapi pidato tersebut, Koordinator juru runding Papua, Octavianus Motte mengucapkan terimakasih atas dukungan dari pimpinan negara kepulauan di Pasifik selatan itu. “Mewakili rakyat  Papua saya ucapkan terimakasih,  terimakasih, dan perjalanan masih panjang. Kami butuh dan dukungan doa rakyat Papua,”kata Octovianus Motte, dari Swiss  dalam perbincangan  via telepon dengan  SP, Jumat (7/3) dini hari.

Octovianus Motte terpilih sebagi juru runding di luar negeri  dalam Konferensi Perdamaian Tanah Papua (KPP) 2011 yang  diselenggarakan pada tanggal 5-7 Juli di Jayapura. 

Menurut dia,  PM Vanuatu langsung to the point dalam pidatonya.   “Kita sebagai negara-negara demokrasi tidak boleh mengabaikan suara kesakitan bangsa Papua Barat,”kata Oktovianus mengutip pernyataan PM Vanuatu.

Kata ini  merupakan salah satu kata kata yang menarik dan menggugah dalam pidato tersebut.   Naskah pidato PM Pidato Perdana Menteri Vanuatu, Moana Carcasses Katokai Kalosil, yang diterima SP,  Jumat dini hari via surat elektronik dalam  berbahasa Inggris juga diselingi bahasa Vanuatu dikirim dari   juru runding  Papua di luar negeri yang menghadiri   Sidang Tingkat Tinggi ke 25, Dewan Hak Azasi Manusia PBB di Jenewa.  

Dalam pidato PM Vanuatu  sebanyak 5 halaman tersebut dikatakan diataranya,   persoalan hak asasi manusia yang sudah berdampak serius kepada masyarakat pribumi melanesia di Papua Barat sejak 1969. “Saya lakukan ini dengan rasa hormat dan kerendahan hati. Negara saya melalui sidang ini mau ungkapkan apa yang menjadi keprihatinan terkait situasi hak asasi manusia di Papua Barat. Kami sangat prihatin atas cara dan sikap dunia internasional yang mengabaikan keinginan orang Papua, yang hak asasinya telah diinjak-injak dan tertekan sejak tahun 1969.

”isi dari pidato tersebut   Pak Presiden, apa yang kita buat saat hak-hak bangsa Melanesia di Papua Barat tertindas atas keikutsertaan dan kehadiran militer? Sejak Pepera tahun 1969 yang kontroversial itu, Papua Barat menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi dan dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia.   Komisi nasional Hak Azasi Manuasi menyimpulkan bahwa tindakan itu tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan, menurut UU Nomor: 26/2000.  

“Tuan Presiden, sebagai warga Melanesia, saya disini untuk mendorong agar segera dilakukan tindakan. Ketidakadilan di Papua Barat adalah ancaman terhadap prinsip keadilan di dunia. Saya tidak bisa tidur saat tahu bahwa di tahun 2010 Yawan Wayeni, yang dikenal sebagai seorang pemberontak, direkam oleh aparat keamanan saat terbaring tak berdaya bersimbah darah dengan usus terburai  dari perutnya. Saya prihatin pada tahun 2010,  Telengga Gire dan Anggen Pugu Kiwo diikat TNI dan disiksa secara kejam”.  

“Sungguh memprihatinkan ketika saya saksikan video sekelompok laki-laki Papua diikat dan ditendang oleh prajurit TNI tidak berseragam yang seharusnya melindungi mereka. Saya merasa gelisah karena antara Maret 2011 hingga Oktober 2013, terdapat 25 orang Papua Barat dibunuh, dan tanpa tindakan untuk membawa pelakunya ke pengadilan. Teramat memalukan bagi saya sebagai warga Melanesia, mengetahui sekitar 10 persen dari populasi orang Papua Barat telah dibunuh oleh aparat Indonesia sejak 1963. Walaupun proses reformasi di Indonesia sudah berlangsung 15 tahun, tetapi mencemaskan karena bangsa Melanesia segera menjadi kaum minoritas di tanah mereka sendiri,”ujarnya.  

Tuan Presiden, seluruh dunia kini dapat terhubung dengan teknologi baru, harusnya tidak ada lagi alasan kurangnya informasi terkait situasi hak asasi manusia yang dialami orang Papua Barat selama lebih dari 45 tahun.   Melalui internet dan riset kaum akademisi dan LSM-LSM internasional, anda akan temukan fakta dasar yang menunjukkan pelanggaran hak-hak orang Melanesia di Papua Barat secara brutal. Tapi kenapa kita tidak membahasnya di Sidang ini? kenapa kita palingkan muka dari mereka dan menutup telinga kita dari suara-suara orang Papua yang kebanyakan telah menumpahkan darah demi keadilan dan kebebasan yang mereka dambakan.  

“Saya bersemangat karena persoalan ini sekarang sampai di Komite Hak Asasi Manusia Parlemen Eropa, dan kami berharap tindakan-tindakan nyata untuk memperbaiki kondisi hak asasi manusia bagi saudara dan saudari kami di Papua Barat. Selanjutnya saya menyerukan pemerintah negara-negara maju, khususnya negara-negara Afrika dan negara di Kepulauan Karibia dan Pasifik agar mengutuk keras tindakan pelanggaran hak asasi manusia ini. Saya mau suarakan lagi kata-kata Martin Luther King Jr., dalam pidatonya tahun 1963 bahwa, “Tidak ada hal di dunia ini yang lebih berbahaya daripada sikap pengabaian yang polos dan ketololan yang disengaja”. Kita sebagai negara-negara demokrasi tidak boleh mengabaikan suara kesakitan bangsa Papua Barat,”kata Moana Carcasses Katokai Kalosil  

"Tuan Presiden, rasa prihatin yang kami angkat ini lebih dari sekedar persoalan menjaga 70 persen kekayaan minyak dan gas di Papua Barat. Ini adalah persoalan status politis. Rasa prihatin kami ini lebih dari sekedar persoalan ekonomi, dimana 80 persen kekayaan hutan, laut dan tambang tetap menjadi milik Papua Barat. Ini adalah persoalan penghormatan atas hak asasi dan eksistensi bangsa Melanesia. Tuan Presiden, akses harus diberikan kepada pakar hak asasi manusia PBB, wartawan internasional dan LSM internasional untuk berkunjung ke Papua.   Dari berbagai sumber sejarah, jelaslah bahwa bangsa Melanesia di Papua Barat sebagai kambing hitam perang dingin dan menjadi tumbal untuk memenuhi selera kekayaan sumber alam Papua Barat. Tuan Presiden, jika utusan Sekjen PBB saat itu, Ortiz Sanz, mengibaratkan Papua Barat sebagai kanker".  

“Di tubuh PBB dan tugas dia untuk menghilangkannya, dan dari apa yang kita lihat sejauh ini, sangat jelas bahwa kanker ini tidak pernah dihilangkan, hanya ditutup-tutupi. Suatu saat, kanker ini akan didiagnosa, kita tidak perlu takut kalau PBB telah lakukan kesalahan di masa lalu, kita harus mengakui kesalahan kita dan memperbaikinya,”ujarnya.  

Tuan Ketua, sebagai penutup, pemerintahan saya yakin bahwa persoalan hak asasi manusia di Papua harus dibawa kembali dalam agenda PBB. “Saya mendorong agar Dewan HAM PBB pertimbangkan pengesahan resolusi tentang situasi hak asasi manusia di Papua Barat. Akan lebih baik bila mandat meliputi penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua, dan berikan saran untuk penyelesaian politik secara damai di Papua Barat. Hal ini juga akan membantu Presiden Yudhoyono dalam mengupayakan dialog dengan Papua,”kata PM Vanuatu dalam pidatonya yang dihadiri Hadir pada kegiatan tersebut sesuai agenda yang telah dimilikinya adalah Secretary-General H.E. Mr. Ban Ki-Moon, President of Human Rights Council H.E. Mr. Baudelaire Ndong Ella, President of General Assembly H.E. Mr. John W. Ashe, High Commissioner Ms. Navi Pillay dan Host country H.E. Mr. Didier Burkhalter, President of the Swiss Confederation

Tidak ada komentar: